"Emang kopi dapat dari mana? Beli dari petani ataukah di cafe," tanyaku.
"Saya punya beberapa pohon kopi, terus beli dari petani dan cafe. Paling sering beli dari petani karena bisa metik sendiri," ujarnya.
"Berapa beli dari petani? Memangnya di sini ada kopi," tanya ku keheranan lantaran sejauh mata memandang hanya ada tembakau dan sayur-sayuran yang memenuhi perbukitan.
" kalau dari petani murah sekilo 15-20 ribu. Beda sama di cafe, bisa ratusan ribu perkilo. Kopi ada tapi hanya tanaman di pinggir rumah. Dulu petani di kasih bantuan suru nanam kopi. Tapi tidak jalan. Dna saya cenderung lebih memilih kopi metik langsung ketimbang beli dari cafe," ujarnya.
Pak Mardadi pun membeberkan kenapa ia memilih memetik dan memprosenya sendiri. Bagi pak Mardadi, salah satu rahasia kenapa kopinya mirip olahan barista di cafe terletak pada prosss penjemuran.
Kopi hasil pemetikannya diutamakan yang sudah matang atau merah. Tidak sekalipun ia memetik kopi yang masih hijau kemerahan. Rasanya akan lain.Â
Biji kopi itu kemudian di jemur selama sebulan dengan durasi yang di atur. Hanya dari jam 7 sampai jam 11. Setiap hari ia lakukan itu.
Biji kopi pemetikan langsung dijemur tanpa dikelupas bijinya. Setelah sebulan, pemilihan grade dilakukan. Kemudian di rendam. Kopi yang tidka tenggelam di buang. Â Kemudian, dikelupas kulitnya lalu dibawa ke cafe untuk penggilingan.
Ia pernah mencoba membeli dari cafe, 10 kg namun ketika diolah kembali yang benar-benar dipakai hanya 3 kg.
" itu bapak ketahui dari mana," masih dengan nada penasaran yang tiada habisnya.