Ia tak mempelajarinya langsung. Melainkan hanya mengandalkan kecekatan mata. Dari mulai penyeduhan hingga tersaji direkamnya dalam ingatan.Â
Barulah ketika pulang kembali saat pandemi mendera, ia memberanikan diri membuka warung kopi dan meracik kopi. Ketertarikannya juga didasari atas penghilatannya pada potensi yang terpampang di depannya.
" Saya lihat ada potensi bisnis yang belum tergarap dengan baik. Beberapa cafe besar saya lihat paling laku ialah kopi. Kenapa tidak memanfaakan peluang ini," ujarnya.
Iapun memberanikan diri membuka warung. Awalnya berlokasi lima atau enam meter di cafe saat ini. Namun terpaksa harus di tutup oleh pihak berwajib lantaran masih dalam  keadaan covid.
Ia pindah beberapa ratus meter ke lokasi sebelumnya. Namun ditutup lagi lantaran dianggap merusak pemandangan.Â
Ia sempat frustasi. Namun dorongan dari saudaranya, membuatnya kembali berbisnis. Warung dengan struktur dasar besi ini berdiri tepat di lahan saudaranya dengan modal pembuatan warung sebesar sepuluh juta rupiah. Modal ngutang tentunya.
"Terus kalau belajar sendiri, apa rahasianya kok kopi bisa enak," tanya kawanku.
"Saya racik sendiri. Semua saya pelajari secara otodidak. Dan formulanya ialah mulai dari proses awal," jawabnya.
"Proses awal gimana pak," tanya kami lagi.
"Saya mulai dari pemilihan kopi, penjemuran hingga sangrai dilakukan sendiri. Kalau proses dihaluskan baru pakai mesin di cafe. Bayar duapuluh ribu," bebernya.