Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nyawa Bukanlah Angka Statistik

2 Oktober 2022   14:50 Diperbarui: 3 Oktober 2022   16:45 1565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Derbi Jawa Timur, Arema FC dan Persebaya Surabaya, di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Malang, Sabtu (1/10/2022) berlangsung panas.| KOMPAS.com/Suci Rahayu

Aku bisa membayangkan, betapa korban-korban itu berjatuhan karena tembakan gas air mata. Berdesak-desakan, terinjak-injak hingga tumbang tak bernyawa. Sebuah kepiluan teramat sadis. 

Semalam aku membayangkan itu, ketika kawanku di kosan memberitahukan informasi adanya kericuan akibat pertandingan sepak bola. Semalam enam puluh lima korban jiwa menjadi headline berita-berita, hingga medsos.

Dan, siang ini melonjak menjadi 129 korban jiwa. Sungguh tidak sedikit. Nyawa ibarat hitungan statistik, tercatat. Terpampang jelas angkanya. Tersebar pula foto-foto dan video korban. Membayangkannya pun gemetaran.

Saya membaca sebuah komentar tidak bernurani membuat darah menjadi naik. "Kenapa banyak korban di pihak Arema, seharusnya pihak Persebaya Surabaya juga dong." sungguh komentar yang menggangap jiwa-jiwa manusia yang hilang hanya hitungan dan angka.

Kehilangan satu keluarga yang di panggil Tuhan saja dukanya tak habis-habis. Sementara korban semalam lebih dari satu. Sungguh sebuah tragedi yang seharusnya tidak terjadi jika semua pihak menahan diri.

Sepak bola, dengan fanatisme lokal yang begitu kental membawa duka mendalam. Sebagai penggemar sepak bola dan terkadang ikut menonton pertandingan di stadion, tak pernah menemukan kondisi separah ini.

Walau harus diakui, setiap kali menonton pertandingan sepak bola, rasa was-was selalu menghantui. Satu yang paling sering dirasakan dan dihadapi ialah kalau-kalau terjadi keributan. 

Yap, fanatisme lokal punya konsekuensi seperti itu dalam sepak bola. Di mana pun pertandingan terselenggara, konflik dan adu jotos adalah adegan tambahan yang sering terjadi.

Perkara-perkara sepele karena kekalahan, ketidakpuasan, dan ketidakadikan panitia hingga wasit bisa menyulut api. Pun dengan perkara saling ejek antar pendukung.

Kita semua sudah pasti punya gambaran itu. Selama kompetisi sepak bola di Indonesia, dari liga kampung hingga nasional, konflik sudah menjadi tontonan di media. Korban jiwa satu dua berjatuhan.

Tragedi di Stadion Kanjuruan dalam pertandingan antara Arema FC vs Persebaya Surbaya adalah tragedi paling besar dalam sejarah sepak bola Indonesia. 

Ketidakpuasaan atas hasil pertandingan

detik.com
detik.com

Lantas siapa yang salah?

Pertama, rendahnya kedewasaan sebagai suporter fanatik adalah masalah krusial. 

Fanatisme berlebihan melekat dengan kuat bagi setiap insan pada klub yang dicintai. Ketidakpuasaan atas kekalahan, kinerja manajemen klub merupakan biang konflik utama secara internal. Secara eksternal, ego dan kebanggaan klub menjadi lebih runyam. 

Beberapa suporter di Indonesia terkenal dengan fanatisme sering membuat ulah dan saling bertikai. Membela dan mendukung klub bagi saya sah-sah saja, namun kedewasaan sebagai pendukung juga patut didudukan paling terdepan. 

Kedua, pembenahan dan manajemen liga saat pertandingan berlangsung. 

Bagi saya, ini harus dibenahi. Dalam beberapa kali saya menonton pertandingan sepak bola, kapasitas stadion selalu over dari jumlah penonton yang seharusnya bisa masuk.

Kurang ketatnya manajemen stadion dan juga karateristik stadion yang bisa dimasuki dengan memanjat hingga punya kenalan di pintu depan membuat segalanya jadi runyam.

Ketiga, strategi keamanan stadion. 

Saya jujur saja, apa yang dilakukan pihak keamanan dalam tragedi semalam memang sangat disayangkan. Menembakan gas air mata dengan kapasitas penonton ribuan tentu bermasalah. 

Saya bisa membayangkan benda yang dilarang penggunaannya di stadion ini ditembakan. Saya paham betul rasanya terkepung tembakan gas air mata. 

Beberapa kali dalam aksi demontrasi, saya terkepung gas air mata dan hampir pingsan. Tak bisa bernapa, perih mata, pusing adalah efek gas air mata. Sungguh itu memang patut dilarang. Pertanyaan yang selalu terbayang adalah tidak ada   solusilain  dalam membubarkan masa?

Lantas bagaimana kedepannya?

Jatuhnya korban jiwa sebanyak ini bakal menjadi sorotan dunia dan tentu saja sepak bola Indonesia secara umum. Bahkan beredar beberapa sanksi sudah menanti.

Bagi saya, penghentian kompetisi harus segera dilakukan dengan tenggat waktu tentunya. Selama itu, pembenahan harus dilakukan. Satu yang menjaduli perhatian adalah menjauhkan sedikit unsur politik di manajemen PSSI.

Selama ini, politik selalu menggerogoti kompetisi satu ini. Netralitas dan keberlangsungan manajemen yang sehat akhirnya tidak terlaksana.

Selain itu, perkuat sanksi dan aturan ketat pada setiap pelanggaran kepada klub, pemain hingga suporter. Ini penting dilakukan agar ada efek jera. 

Penting juga kiranya, manajemen pertandingan diperbaiki, diubah dengan tidak semena-mena mengejar profit dengan kapasitas stadiun yang tidak seimbang. Peraturan penting juga aturan tentang supporter yang akan datang ke stadion mendukung tim kesayangan. pun dengan perihal keamanan jalannya pertandingan

*

Tragedi sepak bola semalam adalah duka mendalam. Nyawa-nyawa yang melayang adalah representasi kelalaian semua pihak dari top hingga down. Sudah saatnya kejadian ini menjadi landasan dalam perbaikan besar-besaran. Semua harus dirombak. Menggodok dengan benar sistem yang akan dipakai kedepan. 

Terlepas dari itu, kejadian ini harus diinvestigasi. Agar jelas mengetahui penyebab utama dari hilangnya korban-korban jiwa tersebut. Siapa yang bertanggung jawab dalam tragedi ini. Ini perlu dilakukan dalam waktu dekat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun