Dulu papa senang sekali menebar jalah. Mengikat ujung satu ke batang mangrove lalu mengayuh dan melepaskan sisa jaring hingga ke tengah.Â
Papa tidak sendiri, teman-teman dari sekampung senang sekali datang memancing di sini.
Datang dari pagi atau sore hingga larut malam. Teman-teman itu, memancing ikan dasaran. Di jual sebagai sumber penghasilan.
Aku senang melihat papa menabar jalah. Jika tak sekolah, aku biasa duduk di depan perahu. Ikut berburu. Â Ikan-ikan dan karang bisa kusaksikan dengan mata telanjang. Indah, bersih, sehat.Â
Pohon-pohon mangrove tumbuh subur, rimbun. Ikan dan habitat lain suka bermain di situ. Mangrove jadi rumah Aneka burung. Aku saksikan dengan takjub.
Pantai adalah arena bermain anak desa seperti kami. Putih dan sangat putih. Membentang sehasta demi sehasta di desaku. Kami bermain kejar-kejaran, rumah dari pasir dan sering sekali memancing dari pinggir.Â
Lima atau enam ekor ikan sudah biasa kami bawa pulang. Memancing tidak sulit. Umpan klomang saja sudah cukup buat panen ikan. Kalau bosan, bisa ambil kerang, berburu gurita atau kepiting di rimbunan mangrove.
Lima belas tahun berlalu. Papa tak lagi menjalah. Perahunya enggan bekerja buat cari nafkah. Teman-teman papa, banyak beralih profesi. Tidak lagi memancing ikan dasaran.
Laut dibelakang rumah tak lagi biru, melainkan coklat pekat. Karang tak terlihat lagi. Endapan lumpur tebal sudah menutupi. Ikan-ikan, sudah pergi, lari dari rumah yang rusak karena ketamakan manusia.
Mangrove-mangrove tak lagi jadi pelindung satwa, tempat makan ikan hingga migitasi bencana bak benteng runtuh.