Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bahu Perkasa Pria Pesisir

24 September 2022   14:24 Diperbarui: 28 September 2022   07:32 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pukul satu siang, keperkasaan mentari tak terbendung. Menggantung cerah di langit timur. Pokok awan tak memberikan harapan keteduhan. Hanya rimbunan pepohonan berjejer di ruang pesisir, sedikit-sedikit menyalurkan kesejukan dari terpaan angin. 

Di sinilah, dalam kehidupan pesisir, masyarakat menyejukan diri dari hawa panas mentari. rebahan, bercengkerama, melakukan komunikasi dan segala aktivitas lain. Desa pesisir tak jauh dari perkara ini.

Sepuluh bahkan lebih anak sekolah, remaja, dan dewasa juga nampak berkumpul di bawah sebuah pohon ketapang. Sesekali pergi lalu kembali lagi. Canda tawa terdengar membelah ruang pesisir. Orang-orang di sini senang bercanda. Mungkin kehidupan harus dijalani demikian. 

"Jam segini kok motor belum datang," keluh salah satu pria sembari menyipitkan mata memperhatikan tanjung di unung desa. Tanjung pembatas antar desa.

 Masyarakat biasa mengidentifikasi kedatangan kapal laut baik speed boat atau kapal motor tempel; kapal kayu dari beberapa cara. Pertama, jam kedatangan yang sudah dihafal betul. 

Kedua, jika lewat dari jam kedatangan mereka akan menunggu di pelabuhan dan memperhatikan tanjung dan ketiga, bunyi raungan mesin tempel yang bisa membelah ruang perkampungan hingga terdengar sampai ke kebun.

"Iya, biasanya jam segini sudah ada," sahut salah satu dari mereka.

Kumpulan para pria desa itu terus mengobrol. Beberapa nampak kembali ke rumah. Beberapa lagi terlihat mondar-mandir, hingga kadang bolak-balik mengecek keadaan. 

Dua jam berlalu, raungan mesin 40 PK mulai terdengar. kapal datang terlambat. Pria-pria desa yang sejak pukul satu pagi menunggu mulai berdatangan. Dua jam menunggu membuat mereka bosan dan memilih kembali ke rumah. 

Kapal motor tempel kayu menurunkan kecepatan. Terlihat jelas ada banyak muatan yang diangkut. Bergerak berlahan agar tidak menabrak karang. Tidak adanya jembatan membuat mereka harus lincah sandar pada posisi yang tepat. Sekali menabrak karang, selesailah sudah bisnis transportasi ini. 

Satu ABK yang berdiri di depan, memegang jangkar sembari menunggu instruksi juragan. Kapal memutar arah, belakang kapal diundurkan. Merasa tepat, jangkar dilepaskan. Dua lainnya berenang ke tepian membawa tali bandar sisi kiri dan kanan. Diikat pada pohon agar saat berlabuh kapal tidak terbawa arus dan tetap stabil. 

Raungan mesin dimatikan. Sekelompok pria yang sudah menunggu, mengikat kepalanya memakai baju. Melepas alas kaki, lalu terjun ke lautan. Menuju arah samping kapal. Berjejer menunggu giliran. Empat orang masuk kedalam kapal, bertugas di dalam. Selebihnya, basah-basahan.

Pekerjaan dimulai, mereka sedang Baburu; menjadi buru sehari. Hari ini mereka mereka menjadi pekerja bayaran. Bahu pria-pria pesisir ini digunakan untuk mengangkut material proyek dari kota. Semen, besi, kayu, dan tripleks harus diangkut dari kapal menuju daratan. Mereka akan dibayar jasanya dengan sistem perunit yang diangkut ke daratan. Hari ini bayarannya sepuluh ribu per sak semen.

Desa pesisir yang jauh dari kata berkembang memiliki berbagai keterbatasan. Salah satunya ketersediaan bahan-bahan bangunan. Semua dibeli dari kota. Diangkut menggunakan kapal laut. Lalu menggunakan jasa penduduk setempat untuk menurunkan barang dari kapal.

Kontraktor menggunakan jasa mereka dengan menghitung setiap bantalan semen yang tertadah dibahu. Sekali didrop, material semisal semen bisa mencapai seribu sampai dua ribu sak. 

Metode lain yang juga biasa digunakan dalam kesepakatan kerja sama selain dibayar per-sak ialah borongan. Berapa pun yang diangkut tetap dibayar dengan harga yang sudah disepakati. Misalnya, kesepakatan seribu sak dengan pengangkut sepuluh orang maka biasanya dipatok dua juta rupiah hingga dua juta lima ratus ribu rupiah. Hasil akan dibagi merata kepada sepuluh orang tersebut.

Tentu jumlah rupiah yang diperoleh sangat sedikit dengan volume barang yang diangkut. Sakit badan? Tentu saja. Namun sedikit atau tidak jumlah rupiah yang dibawa pulang merupakan rezeki yang harus disyukuri. Dapat digunakan beli beras dan keperluan rumah tangga. 

Tentu tidak setiap hari mereka menghasilkan uang. Profesi kebanyakan penduduk di desa pesisir utamanya di timur ialah nelayan dan petani musiman. Pendapatan akan diperoleh ketika hasil-hasil panen bisa terjual ke kota. Pendapatan akan meningkat jika harga sedang bagus-bagusnya begitupun kebalikannya. 

Proyek-proyek yang masuk ke desa memberikan peluang penambahan pendapatan. Selain sebagai buru angkut, biasanya masyarakat juga mengumpulkan pasir dan batu disekitar proyek untuk dibeli kontraktor. 

Lainnya juga akan menjadi diajak menjadi pekerja. Pasir dan batu yang dikumpulkan seminggu dua minggu itu biasa dibeli dengan mahar tigaratus hingga tiga ratus lima puluh ribu rupiah.

Bahu-bahu pria pesisir itu perkasa. Pikul memikul sepertinya menjadi kekuatan utama. Sebagai petani, hasil panen di kebun biasanya akan dipikul ke kampung. Tidak menggunakan kendaraan. Percuma jalan tani di sebagian jalur belum tersedia. 

Dan, tidak semua warga punya kendaraan bermotor. Kalaupun menyewa motor milik orang kampung, biaya sekali angkut juga cukup mahal yakni sepuluh ribu rupiah. Bukan untung tapi buntung. Biaya operasional produksi kadang tidak seimbang dengan pendapatan bersih.

Hasil panen musiman dari kelapa, cengkih, dan pala merupakan cerminan dari perputaran ekonomi yang begitu lambat. Sehingga setiap kali ada kesempatan meraup rupiah maka kesempatan itu tidak disia-siakan. Bahkan untuk anak sekolah sekalipun utamanya SMP dan SMA. Mereka juga turut menghasilkan uang sebagai buru panggul, menciptakan kelompok kerja; memanjat kelapa, memaras kebun, mengeluarkan kayu dll. 

Buru panggul di desa selain mengangkut material proyek, juga mengangkut bahan belanjaan kios milik penduduk kampung. dibayar lima ribu rupiah satu unit. Begitu pun dengan mengeluarkan hasil panen dari kebun semisal Kopra. 

Kehidupan tentu berjalan sangat keras. Uang susah didapat. semua pekerjaan menghasilkan harus dikerjakan. Tetapi sekeras-kerasnya kehidupan di desa, masih ada norma dan nilai yang melekat begitu erat. (sukur dofu-dofu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun