Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kayu Bakar Pilihan Mama

21 September 2022   15:40 Diperbarui: 21 September 2022   17:42 1630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kayu bakar pilihan mama (dokpri)

Pukul empat sore, Ical dan Aster berdebat sengit. Keduanya duduk di atas talud. Dua gelas kopi dengan cemilan buah kenari pelengkap diskusi.

Kedua adik kakak ini sedang membahas perihal naiknya harga BBM dan turunnya harga kopra.

Aster utamanya, ia berapi-api. Menjelaskan kepada kakanya perihal dua kondisi ini. Sebagai seorang ketua perkumpulan mahasiswa desa dan juga kader satu organisasi pergerakan, ia tak mau gengsinya terinjak-injak oleh sang kakak yang sudah purna dari gerakan jalanan.

"Saya demo sebagai bagian dari agent of change. Itu kewajiban. BBM naik itu akan merugikan rakyat. Kakak sudah mati naluri gerakannya," jelas Aster sembari menuduh kakaknya Ical.

"Pemerintah harusnya memikirkan rakyat. BBM naik harga naik, kita yang di desa akan kesusahan. Barang-barang harus beli ke kota. Sementara uang transportasi sudah naik," kesal Aster dengan mimik berapi-api.

Ical yang sedari tadi diam kemudian terpancing juga " emang kau tau tujuan negara menaikan harga BBM," 

"Taulah, buat membikin rakyat kecil susah," jawab Aster singkat.

"Ah dasar kamu. Gitu aja tidak tau. Katanya anak gerakan. Kok kajiannya setengah tumpul," tuduh Ical.

Aster semakin terbakar. Perdebatan tiada hentinya. Suara keduanya hampir-hampir mengalahkan desiran ombak. Mirip orang berkelahi. Dua tiga tetangga menengok, berpikir ada adu bakupukul di belakang rumah.

"Kakak biar di kampung tapi tau informasi. BBM naik itu karena ada beban anggaran negara yang membengkak," tuturnya.

Aster memotong," ah kakak, tidak ada ceritanya begitu. Justru mereka naikan BBM karena ada kepentingan yang harus diakomodir. Coba kakak lihat sekarang, kita diarahkan pakai barang berbahan listrik, kendaraan listrik yang justru dukungan jalan dan portnya tidak mendukung, kompor listrik, dan sejenisnya. Negara sedang berbisnis," 

Ical diam sembari menerka-nerka. Rupanya belum cukup informasi yang dipelajarinya dengan mengakses internet desa. 

Keduanya terus beradu dari pembahasan BBM hingga pembahasan kopra. Sistem diskusi gado-gado diterapkan. Di rasa nyambung akan dikaitkan. Tak peduli benar atau tidak.

"Sudah-sudah. Besok ikut kakak panjat kelapa. Bikin kopra," tegas Ical yang geram atas perdebatan tak berunjung ini.

"Ah biarkan saja dulu. Pemerintah juga tidak perhatikan harga kopra. BBM dinaikan, harga Kopra diturunkan sampai 5.500 perkilo. Bisa apa kita dengan hasil yang cuman 500-700 kilo," kesal Aster.

"Kan belum langsung bikin kopra. Kita panjat dulu, kumpulin. Tiga bulan lagi, panjat lagi baru bikin kopra. Bisa satu ton lebih itu," jelas Ical dengan nada merendah.

Aster tetap bersikukuh. Ia tak akan mau hingga harga Kopra naik. Keduanya terus berdebat. 

Suara mereka kembali membesar. Seorang wanita yang mengintip dari dapur mulai geram. Di ambilnya sepotong kayu bakar yang tergeletak di lantai, lalu keluar, berjalan mendekat ke arah dua kakak beradik ini.

"BBM, BBM apa, mama suruh kalian berdua ke kebun ambil kayu kan? Kenapa kalian asik pangku kaki. Bukan main, ngopi pulak. Minyak ada susah, tidak bisa masak tapi kalian asik ngopi," Geram sang mama yang kesal perintahnya tidak diindahkan.

Ical dan Aster lupa ada kayu bakar yang harus mereka ambil. Perintah bapak ibu pada pukul sepuluh pagi tadi hilang diingatan. Teralihkan oleh perdebatan kenaikan BBm dan kopra yang turun. 

Kayu bakar kering (dokpri)
Kayu bakar kering (dokpri)

Keduanya kaget. Melompat dan menjauh. Jaga-jaga agar sebatang kayu yang dipegang sang mama yang mengamuk tidak mendarat di pantat.
Keduanya lantas buru-buru mengambil parang tumpul dan lari terbirit-birit. Menuju hutan pada pukul lima sore. Jalan dengan perdebatan adik kakak yang saling menyalahkan, kenapa mereka harus lupa tugas.

Tiga puluh menit tiba di kebun. Kayu yang mereka cari dan tandai rupanya sudah di colong. Alias sudah diambil orang lain. Apes sungguh nasib keduanya. 

Takut tak membawa hasil, mereka kemudian menebang Kayu basah untuk dibawa pulang. Masing-masing satu long (ikat). Dari pada tak membawa kayu, mendingan bawa yang basah; kayu belum kering, saja biar nanti dikeringkan. Toh dua tiga hari juga kering jika matahari bersinar kencang.

Di belakang rumah, kayu itu dijejerkan di atas tanah. Di susun rapi-rapi agar besok bisa terkena mentari. Kalau sudah kering, bakal di tata kembali ke tempat kayu.

Tempat kayu bakar (dokpri)
Tempat kayu bakar (dokpri)

Kayu bakar di potong-potong kecil (dokpri)
Kayu bakar di potong-potong kecil (dokpri)

"Pantas mama marah, kayu abis.," seruh Aster yang melihat  tempat kayu kering buat memasak menipis. 

Di desa, masing-masing rumah punya tempat kayu kering. Metode memasak memang sudah menggunakan kompor. Bukan kompor listrik. Percuma listrik menyalah pada malam hari.

 Kalaupun ada, tak tau masyarakat apa itu kompor listrik. Kompor gas? Lebih parah lagi, takut meledak. Streotip media sudah kadung jadi kepercayaan.

 Kompor di desa itu kompor sumbuh.Punya sumbuh dengan bahan bakar minyak tanah.  Namun karena minyak yang sulit didapat, maka kayu bakar menjadi penting. Ketersediaan ini harus selalu ada. Selain efisien, lama dipakai, tidak beli. Cukup kehutan, potong, bawa pulang.

Kayu apapun bisa jadi persediaan. Bahkan kulit kenari, batok kelapa, cangkang pala bisa jadi sumber perapian di tungku. 

Memasak dengan metode tradisional masih dilakukan. Ini untuk menjaga minyak tanah agar irit hingga kehabisan minyak tanah. Di acara besar, 80 persen menggunakan kayu. Sehingga ada tradisi sumbangan kayu per keluarga di desa yang harus disetorkan ke tuan pemilik acara.

Asik menata kayu hasil tebangan di hutan, keduanya tak sadar. Dibelakang mereka sudah berdiri sang mama dengan wajah geram. Habis kesabaran nampak jelas di wajah.

"Siapa suru kalian ambil kayu basah.," keduanya tak mampu berkata-kata.

"Malam ini kalian berdua makan sagu dengan air," tegas mamanya sembari berjalan masuk.

Aster dan Ical beratatapan. "Saya sudah bilang jangan bawa kayu mentah; basah. Sial, gara-gara pemerintah," kesal Aster. (Sukur dofu-dofu).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun