Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Gagal Move On

20 September 2022   17:24 Diperbarui: 20 September 2022   17:29 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mengintip lewat celah tirai merah pembatas ruangan. Tiga sosok di ruang tamu serius menatap satu dengan yang lain. Aku, mensiagakan pendengaran atas percakapan dua lelaki dan satu wanita dengan harap-harap cemas.

 "Kedatangan ku kesini, untuk berkenalan sekaligus meminta restu untuk serius dengan anak bapak,"

Hatiku bedetak kencang. Dunia serasa terhenti sebentar. Sekujur tubuh serasa kaku. Adukan kegembiraan dan sendu sedih ikut menghampiri. Bulir air mata tak terasa jatuh membasahi pipi. Lelaki yang ku kenal enam bulan silam di Jakarta kini telah duduk dihadapan kedua orang tua ku. Membawa mutiara nan indah bagi  bernama komitmen 

Dua belas jam perjalanan ditapakinya untuk menuju rumahku. Perjalanan panjang untuk menegakan komitmen yang terucap dari bibis manisnya . Sungguh mati aku sangat mencintai pria ini.

 " Allhamdulilah, sekiranya ananda serius dan sungguh-sungguh. Saya merestui hubungan ini. semua perihal ananda sudah diceritakan oleh Feby," ujar ayahku. Kegembiraan terpancar jelas dari wajah pria hebat ini. Anak gadis tertua sebentar lagi dipersunting oleh pria yang sungguh-sungguh.

Ibuku tak berucap banyak. Menahan sedikit mikik wajah kesedihan. Aku rasa, ia sedang menahan haru. Memerintahkan air matanya agar tak dulu membasahi pipi. Ia tau perpisahan sebentar lagi akan terjadi. Di rumah ini, ia akan menyaksikan aku dipersunting lalu pergi mengikuti suami. Lumrahnya seorang perempuan.

Tamu-tamu yang datang ikut bahagia. Keluarga besar bersorak kegirangan. Aku tentu saja lebih bahagia. Impianku hidup dengan sosok lelaki pilihan ku di restui. Kegagalan pertama sudah hampir membuatku putus asa. "Sekarang tak ada lagi kegagalan kedua" pikirku.

*

"Kamu bilang hendak meminangku? Maaf aku harus jujur padamu, belum bisa Move On dengan pria sebelumnya. Anak  bangsat itu sudah meruntuhkan jiwaku. Menghilangkan sepenuhnya kepercayaan dari mulut lelaki,"

Kata-kata itu meluncur bebas dari mulutku kepada seorang pria baru dalam hidupku. Ucapan akan menghalalkan ku seperti omong kosong yang dilemparkan sebelumnya. Aku tak percaya lagi, bahkan hingga ia menemui orang tua ku.

 "Aku juga harus jujur padamu, sakit hati masih terpedam dalam dadaku. Tak berkurang sedikitpun rasa ini,," aku terus berkoar.

Aku tau, ini akan menyakitinya. Namun rasa tak peduli pada ucapan laki-laki sudah menggrogotiku. Kekasih yang sebelumnya telah menjual habis jurus jitu lelaki. Aku beli dengan kepercayaan tinggi dan terlalu tinggi.

Aku tau ia bangsat. Tetapi ia masih yang terbaik hingga kini. Sosok yang terindah dalam hubungan singkatku. Aku sendiri binggung atas diriku sendiri.

 Seandainya tak ada perkenalan dengannya tempo itu, aku mungkin akan mempertimbangkan  banyak opsi.

Pria bejat memang selalu yang terindah di hati. Begitu pikirku. Ia telah memberi warna baru dalam kecupuan "cinta". 

Seumur-umur, aku hanya mengenal tiga pria termaksud dirinya. Ketika di Bandung, perkenalanku dengan pacar pertama ku berhenti di tangan gadis remaja, Anak SMA. Di selingkuhi dengan nyata. Namun tak ada sakit hati, tidak sama sekali.

Aku berhenti menerima pinangan cinta banyak lelaki hingga begitu lamanya. Lalu datang pria kedua. Seorang muslim taat, kami Taaruf. Aku begitu yakin dan dangat yakin. 

Ketika niat itu tersampaikan ke orang tua. Tantangan pengahiran harus dilakukan. Ia masih silisiah keluarga. Berpangkat "Tulang" kata mamaku. Perkara diakhiri dengan sangat baik. Kami berpisah.

Pria bangsat ini lalu memasuki hatiku. Ia merampas sempurna kepribadian ku. Datang dengan gagah berani, membuat taman kehidupan penuh warna-warni.

Bersamanya, kami layaknya pasangan kekasih dengan sydrom budak cinta. Tak ada seharipun lepas dari genggaman pertemuan. Bahkan kegabutan yang menyerang di malam hari akan membawa kami mengelilingi Jakarta.

Aku tau, sebagai pria ia begitu mengitimewakanku. Tak ada sekalipun aku temukan tingkah dan perlakuannya tak lembut. Ah sunguh mati, tak sedetipun aku lupakan perilakunya yang negatif padaku. Aku begitu-begitu mencintainya.

"Aku ingin segera menghalalkan mu. Akan ku temui orang tua mu di kampung," 

Aku masih mengingat ucapan itu. Terekam jelas dalam ingatan. Membuatku hampir pingsan kala terucap. Bahagia dan sangat bahagia.

Dua bulan termakan waktu dengan sempurna. Pertemuan dengan orang tuaku membikin komitmen percintaan bagiku menjadi kuat. Namun kelancaran izin rupanya hanya intrik belaka.

Sikapnya berubah, perilakunya berubah. Ia masih tetap lembut. Masih membikin aku berbunga-bunga. Namun kebejatan otak yang terpedam nampaknya mulai mencuat. 

Mengajakku tinggal seatap dan mengajak liburan keluar kota adalah intrik yang selalu ia kuatkan. Jika saja imanku tak kuat, apa daya tubuh kerempeng ini. Teraniyaya dengan pasarah berlabel kenikmatan cinta.

Penolakan yang ku lemparkan membuatnya mulai geram. Marah mulai merasuki dadanya. Hingga perdebatan selalu menjadi nomor satu. Aku bersikukuh, sejak kecil kemana-mana sudah tertanam pengawasan dan mawas diri. Dilindungi oleh keluarga bahkan hanya kedepan berbelanja keperluan.

 Lalu buat apa ketika kebebsan diberikan, aku harus menghilangkan kepercayaan orang tuaku?

Intrik dan penolakannya aku tepis mentah-mentah. Aku sadar ia hanya melancarkan aksi agar bisa menikmati tubuhku. Kehormatan yang tak pernah aku berikan seincipun.

Sungguh sesuatu yang menjijikan. Kesadaranku memuncak, ternyata ada juga pria seperti ini.

 Aku tetap cinta sunguh-sunguh cinta dan tak berkuranh sedikitpun. Walau berbagai penolakan itu membikin ia berubah. Jarang komunikasi membawa banyak alasan lalu pergi tanpa kabar.

Pada akhirnya, kami mengakhiri hubunhan yang indah ini. Hubungan yang bagiku tak akan kudapatkan dari pria lain.

Penyesalanku hanya pada omong kosong meminangku. Kenapa ia harus bersandiwara dengab menemui orang tuaku? Aku yang polis ini bakal meleleh jika demikian perlakukannya. 

*

"Sungguh aku tak percaya lagi. Maaf ya, jika kau serius temui orang tuaku. Minta restu dan atur jadwal pernikahan," Ia diam saja. 

"Walaupun kamu harus cukup bekerja keras  lantaran aku masih belum bisa move on dari mantan kekasih bejatku  Aku akan menerima pinanhanmu jika kau berhasil menggantikan posisinya. Tetapi jika tidak, mohon maaf, aku harus rela menunggu yang lain,"

Dan, iamasih tetap diam.... (sukur dofu-dodu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun