"Aku ingin segera menghalalkan mu. Akan ku temui orang tua mu di kampung,"Â
Aku masih mengingat ucapan itu. Terekam jelas dalam ingatan. Membuatku hampir pingsan kala terucap. Bahagia dan sangat bahagia.
Dua bulan termakan waktu dengan sempurna. Pertemuan dengan orang tuaku membikin komitmen percintaan bagiku menjadi kuat. Namun kelancaran izin rupanya hanya intrik belaka.
Sikapnya berubah, perilakunya berubah. Ia masih tetap lembut. Masih membikin aku berbunga-bunga. Namun kebejatan otak yang terpedam nampaknya mulai mencuat.Â
Mengajakku tinggal seatap dan mengajak liburan keluar kota adalah intrik yang selalu ia kuatkan. Jika saja imanku tak kuat, apa daya tubuh kerempeng ini. Teraniyaya dengan pasarah berlabel kenikmatan cinta.
Penolakan yang ku lemparkan membuatnya mulai geram. Marah mulai merasuki dadanya. Hingga perdebatan selalu menjadi nomor satu. Aku bersikukuh, sejak kecil kemana-mana sudah tertanam pengawasan dan mawas diri. Dilindungi oleh keluarga bahkan hanya kedepan berbelanja keperluan.
 Lalu buat apa ketika kebebsan diberikan, aku harus menghilangkan kepercayaan orang tuaku?
Intrik dan penolakannya aku tepis mentah-mentah. Aku sadar ia hanya melancarkan aksi agar bisa menikmati tubuhku. Kehormatan yang tak pernah aku berikan seincipun.
Sungguh sesuatu yang menjijikan. Kesadaranku memuncak, ternyata ada juga pria seperti ini.
 Aku tetap cinta sunguh-sunguh cinta dan tak berkuranh sedikitpun. Walau berbagai penolakan itu membikin ia berubah. Jarang komunikasi membawa banyak alasan lalu pergi tanpa kabar.
Pada akhirnya, kami mengakhiri hubunhan yang indah ini. Hubungan yang bagiku tak akan kudapatkan dari pria lain.