"Gempuran produk wajah dengan anekaisasi kegunaan dan segment, menyingkirkan hegemoni bedak tradisional yang turun temurun digunakan. Dari praktek pembuatan dan pemakaian."
Dua tiga ibu tertawa pecah di Parigi;sumur. Bahasan mereka mengundang gelak tawa satu dengan lainnya. Saya menengok dari balik jendela kamar, kudapati mereka sedang mengulek dan menumbuk beras. Juga tertangkap, ada kunyit, beberapa lembar dedaunan. Dan, beberapa bahan yang samar dalam penglihatan
Saya urung keluar rumah. Gerah masih lebih baik ketimbang keperkasaan matahari yang tiada dua di luar sana. Duduk di pinggir pantai percuma saja, hawa menyegat tak mampu ditengadah nyiur angin dan rimbunan pepohon kelapa.
Beberapa bulan ini keperkasaan mentari tiada dua. Sekedar keluar siang hari adalah perkara sendiri.Â
Dari kamar, saya mencari angin ke teras rumah. Gerah dalam rumah yang rata-rata beratap rendah sudah mulai cukup menyiksa. Di teras, sudah ada beberapa anak desa yang ikut ngadem. Membuka baju lalu duduk pasa jalur berhembusnya angin.Â
Di wilayah pesisir begini, hawa panas sudah bagian alamiah. Tak ada kata "udara" dingin, kecuali menjelang subuh hari atau ketika hujan sedang mengguyur.
Dua tiga ibu-ibu tadi dengan bertudung kain kecil di kepala berjalan pulang. Menenteng baskom kecil yang isinya hasil gilingan bahan-bahan tadi.
"Mama bikin apa," tanyaku.
"Bikin pupur; bedak dingin; bedak giling, bahasa kami." Sahut salah satunya.