Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kehidupan Guru Honorer di Pesisir

16 September 2022   16:51 Diperbarui: 17 September 2022   05:00 1173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Menjadi guru honorer itu murni totalitas pengabdian, ladang pahala. Kesejahteraan memang harus di kesampingkan sebab gonta-ganti kurikulum, menteri, dan kebijakan tak sedikit pun kami di dalamnya."

Deburan ombak terdengar manja di belakang rumah. Suara parau ayam berkokok, burung-burung berkicau, kejar-kejaran dan mentari yang belum perkasa di cakrawala, adalah pagi yang tak pernah saya tinggalkan sehari pun. 

Tempat favoritku, adalah duduk di atas talud yang membentengi desa dari amukan ganasnya musim ombak, menikmati sepoi angin pagi yang menyejukkan. 

Saya menyukai pagi ketika semuanya baru dimulai. Kayu yang terbakar di tunggu perapian. Asap-asap dapur yang keluar dari corong rumah, bau seduhan kopi, teh dan aroma pisang goreng.

Di tempat favorit, di bawah rimbunan pohon kelapa, dua tiga perahu tertangkap mata di kejauhan. Menjatuhkan umpan di tubir karang, memancing buat laut makan siang. 

Dua tiga anak sekolah mandi di pantai, lalu berbilas dengan air tawae dari parigi; sumur dan bersiap ke sekolah.  

Petani dari kampung sebelah menyusuri pantai menuju perkebunan. Kapal-kapal penumpang juga nampak sudah mulai datang, mengangkut orang-orang yang  hendak bepergian ke kota.  

Dari talud, saya sering menjumpai papa mengasah parang, setajam mungkin. Bersiap dinas ke kebun. Dan mama yang menyiapkan bekal dan keperluan ayah selama berada di kebun. 

Ketika fajar mulai mekar di cakrawala, saya juga harus siap-siap bekerja. Di sekolah yang sudah satu tahun setengah kuabdikan diri mencari ladang pahala jalur ilmu. Saya guru honorer di desa di antara anak muda lulusan perguruan tinggi.

*

Pukul delapan pagi, murid-murid sudah berdatangan. Dari kampung sebelah hingga kampung sendiri, berjalan berkelompok. Dua tiga hingga lebih dalam satu kelompok. SD, SMP, maupun anak SMA. 

Saya suka melihat barisan anak-anak berseragam ini menuju sekolah sembari bersiap-siap. Ada harapan dan kebanggaan tersendiri atas kemauan mereka menempuh pendidikan. Harapannya tentu saja, menjadi generasi penerus bangsa yang hebat.

"Pak Guru Jam berapa apel pagi?" Pertanyaan anak-anak setiap kali melihat saya masih di rumah. Sekolah di desa memang dimulai agak sedikit telat. Pukul delapan biasanya baru apel pagi. 

Kadang, jika guru-guru lain sedang keluar daerah. Saya mengemban tugas memimpin apel pagi dan apel pulang. Kadang pula jika kosong sama sekali, saya tangani semua kelas dengan memberikan tugas rumah lalu membubarkan aktivitas sekolah sedari dini. Tak efektif jika seorang diri mengajar semua kelas.

Seorang anak di Pulau Moti (dokumentasi Pribadi)
Seorang anak di Pulau Moti (dokumentasi Pribadi)

Aku siap-siap. Kemeja adalah kewajiban. Bukan baju dinas coklat. Celana panjang, dan sepatu kets adalah outfitku setiap minggu. Tak lupa sebuah pena yang selalu setia berada di saku.

Saya mengajar di sekolah dasar. Basic pendidikan di perguruan tinggi dengan jurusan PGSD sudah menjadi jalur yang membawaku ke sini. Tugasku sebagai pengajar juga sebagai wali kelas. Tugas kami sama, antara guru PNS dan honorer macam saya. Tidak ada pembeda. Semua dilakukan bersama-sama. Tak ada diskriminasi.

Kelas dengan anak-anak berwajah polos adalah ruang yang paling saya sukai. Merasa hidup di ruang kelas. Mengajarkan anak-anak belia baca tulis dan menghitung. Memberikan motivasi, dorongan dan kasih sayang. 

Jiwa-jiwa dini ini harus diberikan landasan yang kokoh agar kelak ketika beranjak ke jenjang berikut mereka punya karakter yang kuat.

Wajah polos anak-anak belia menjadi pelipur lara dalam dada. Senyum mekar malu-malu, tertawa bahkan menangis selalu menjadi keseharian yang kadang bikin saya senyum-senyum sendiri. 

Saya tak pernah sedikit pun membayangkan berada di tengah wajah, wajah polos tanpa dosa. Hasratku tak pernah sampai ke sini. Lulus kuliah beberapa tahun lalu tak menarik minatku menjadi guru. Saya ingin lanjut kuliah dan mengejar mimpi menjadi guru besar di universitas.

Sekalipun jadi guru, tak mau menjadi honorer, harus PNS. Apesnya, lulusan perguruan jurusan keguruan tak sembarangan mengikuti seleksi PNS. Harus punya sertifikat kompetensi dan harus punya nama di Dapodik. Diperoleh dengan cara mengajar dulu satu sampai tiga tahun.

Nama akan sangat mudah masuk ke sistem Dapodik jika d sekolah itu punya kenalan, punya keluarga.

Namun semua berubah ketika pulang kampung. Kekurangan guru, pendidikan literasi dan informasi pengetahuan yang rendah mengurungkan niatku. 

Murid-murid tidak kenal literasi, tidak kenal dunia yang mengasikan ini. Hingga suatu saat saya putuskan mengabdikan diri membangun literasi di desa pesisir.

Saya lantas menjadi honorer jalur sekolah. Dan lambat laun mendirikan sebuah rumah baca yang fokus pada pengembangan literasi bagi anak SD dan SMP. Kegiatan yang dilakukan dua kali dalam seminggu ini, fokus mengkaji buku-buku, membaca, menulis cerpen, puisi dll.

Sudah hampir dua tahun saya mengabdikan diri. Gelarku dalam strata sosial menjadi pak guru. Ke mana-mana dipanggil pak guru atau kadang engku (panggilan jadul yang masih populer di timur). Sudah banyak pula suka dan duka yang dihadapi. 

Honorer seperti saya, dan beberapa anak muda di desa yang juga mengabdikan diri di sekolah tak pernah memikirkan perihal kesejahteraan. Mengajar adalah ruang pahala, amal jahiriyah. 

Toh tak akan sampai nalar atas penghasilan yang diterima. Saya sendiri punya penghasilan empat ratus ribu rupiah. Gaji itu, saya terima dalam tiga bulan sekali. Dalam situasi tertentu, kadang lebih dari tiga bulan. Tak ada tunjangan lain, itu satu-satunya penghasilan kami.

Saya sendiri honorer jalur sekolah di mana gaji adalah tanggungan pihak sekolah. Alokasi dari dana BOS. Sementara honorer jalur provinsi, digaji oleh dinas pendidikan, di luar dana BOS. Besarannya tak sama. Lebih tinggi jalur provinsi.

Lalu dari mana kah saya harus memenuhi kebutuhan diri? Ngutang di warung salah satunya. Juga nyambi sebagai petani di kebun milik orang tua. Dapat upah setiap kali membantu memanen pala atau membikin kopra kelapa. Uang dari orang tua juga sering membantu membikin hidup.

Atau, bantu-bantu mengangkut barang dari kapal ke darat. Barang-barang warung hingga bahan-bahan proyek. Sepuluh ribu untuk setiap karung semen yang terpikul ke daratan. Saya juga bekerja berkelompok, membersihkan kebun-kebun warga.

Tapi itu tak masalah. Tujuan saya pada pengabdian dan memajukan ilmu di desa sudah terlampau kuat. Gaji berapa pun tetap ku terima. Walau kadang diterima beralur karena permasalahan pencairan dana bos yang kadang bikin ribet.

Kawan-kawanku yang lain, sesama profesi honorer juga sama. Lima sampai sepuluh tahun sudah mereka mengabdikan diri. Ada harapan yang membuat mereka bertahan sebegitu lamanya. Harapan mereka dan kebanyakan dari kami tentu saja mendapat "bonus" pengangkatan menjadi PNS. Sebuah kebijakan populer dari pemerintah daerah dan pihak terkait tentunya.

Namun sudah sepuluh tahun ini, tak satu pun saya dapati proses itu. Hingga beberapa menyerah dan memilih meninggalkan profesi sebagai guru honorer. Miris memang, sebab sepeninggal mereka banyak mata pelajaran yang tanpa guru. Apa daya, seseorang membutuhkan penghidupan dalam kehidupannya.

Sementara realitas sebaran guru di daerah-daerah terpencil tak jua terlaksana. Guru-guru yang datang, kebanyakan korban politik karena bermain pada kandidat yang salah. Bukan murni kebijakan penyebaran guru ke pelosok.

Tekanan politik sangat mudah kami rasakan. Guru honorer seperti kami sering kali menjadi aktor penindasan. Iming-iming diangkat PNS hingga nama prioritas, tak ubahnya kubangan kotoran di kepala. Jika tak ikut, maka kesempatan menggunakan seragam coklat kebanggaan tak akan pernah dicapai. 

Sering dan sangat sering kami rasakan. Baik honorer dari jalur sekolah ataupun jalur provinsi atau dinas.

Di balik hiruk pikuk yang terjadi, saya menikmati pekerjaan ini seperti saya menikmati mentari yang pecah di cakrawala dan senyum anak-anak manis di ruang kelas. 

Pekerjaan ini telah memantapkan kebenggalan idelogku dari yang semula ogah menjadi pendidik kini mencintai diri sebagai pendidik. 

Harapanku sederhana, segala jenis dan daya tenaga yang saya berikan dapat menciptakan sumber daya manusia yang lebih maju dan kompeten. Tentu dengan bebas berpikir. Dan, tumbuh hidup mekar literasi di desa pesisir.

Kemajuan bangsa terletak pada kualitas sumber daya yang merata. Profesi ini tak menjanjikan kesejahteraan selama sistem belum melirik kami, tetapi satu yang pasti profesi ini adalah ladang pahala.

*

Artikel ini terinspirasi dari sharing beberapa anak muda  yang berprofesi sebagai guru honorer di desa-desa pesisir di Maluku Utara. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun