Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kapan Kau Meminangku, Bang?

12 September 2022   21:12 Diperbarui: 12 September 2022   21:14 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapan kau meminangku, bang (kompas.com)

Pokok hujan menggantung di langit Jakarta. Bumi sebentar lagi basah. Orang sudah siaga. Pedagang yang memasang terpal, payung-payung yang terbuka, jas hujan yang sigap dipakai pengendara dan banyak lagi lakon manusia yang berharap tak basah.

Saya duduk dipojokan, di bawah jembatan jalur MRT, ketika pokok hujan itu akhirnya gugur menguyur bumi Jakarta. Ku sandarkan badan pada tiang penyanga, berlindung.

"Kapan kau menikahi ku bang, umurku sudah tua  tak perlu lagi alasan aku menunda-nunda",. 

Jelas terdengar di kuping. Saya menoleh, mendapati seorang perempuan manis, berkacamata. Rambutnya lurus terurai. Kameja putihnya dibalut jajet denim abu-abu. Menghadap seorang pria yang saya duga pacarnya. 

"Kan sudah aku bilang, kamu sabar sebentar. Aku lagi nyari duit buat halin kamu. Bukan perkara kecil dengan patokan nominal yang kau minta," jawab pria berambut kriting, namun berpenampilan modis. 

"Aku tak butuh alasan. Umurku sudah kepala tiga. Aku muak mendengarkan pertanyaan orang-orang yang tak berkesudahan. Muak aku bang muak," sanggahnya. Tak peduli ada sosok manusia yang sedari tadi tanpa sengaja ikut mendengarkan obrolan pembuktian kedua insan manusia ini.

"Lagipula, sampai kapan aku harus begini. Aku seperti menggantungkan harapan pada sesuatu yang tak pasti. Tujuh tahun sayang, apakah tidak cukup," serangan bertubi-tubi ini terus dilemparkan. Seperti seekor macan kelaparan yang mengamuk.

"Iya aku tau, beban itu juga ada padaku. Kau pikir aku tak pernah memikirkan itu. Sedetik pun aku tak lepas dari bagaimana cara aku menghalalkanmu. Itu ku bawa dalam setiap doa ku. Aku hanya minta kau sedikit bersabar. Jangan termakan omongan dan pertanyaan orang-orang, please." tegas sang lelaki sembari mengulas manja kepala wanitanya agar mau di mengerti.

Hujan semakin deras, namun kedua insan manusia ini seperti dirasuki ke kemarau panjang. Wanita manis ini nampaknya sudah sangat geram. Segala konstitusi penjelasan tak berlaku. Janji manis sudah kenyang baginya. Suaranya makin meninggi.

"Persetan bersabar. Kau juga aku lihat tidak ngapa-ngapain. Tidak berusaha. Modalmu harapan, harapan dan harapan. Kenapa kau tidak mau kerja, aku tak butuh banyak uang, aku hanya mau melihat kau berusaha. Punya pekerjaan tetap dan gaji setiap bulan" geramnya. Aku lihat dalam lirikan mata,  raut wajah manisnya sedikit berubah. 

" Ya, emang sekarang aku sedang apa? kamu tau apa usahaku?, semua ku kerjakan. Ada duit tidak ada duit aku kerjakan. Perkawinan itu bukan hanya sekedar hari bahagia memakaikan cincin dan ijab kabul. Bukan. Aku berpikir bagaimana kelanjutan setelah perkawinan. Itu yang kupirkan. Aku tak mau sehabis nikah, harus memasukan lamaran kesana kemari," jelas sang pria.

" Bulshit," ujar wanita itu sembari melepaskan pelukan pacarnya. " Kau pikir aku percaya, tidak. Sudah cukup kau meyakinkan ku dengan harapan yang tidak ada hasilnya. Aku tak percaya lagi. Justru dari sekarang kau harus cari kerja. Gunakan ijasah magister mu. Bukan menyimpannya dalan lemari," 

Ah, rumit sekali dua insan manusia ini. Saya berharap hujan cepat berlalu. Dan, memisahkan diri dari obrolan perihal pembuktian ini.

" Percayalah padaku, bersabarlah sedikit. Apa yang kulakukan adalah untuk menjamin kamu tidak kehujanan karena tak punya rumah dan tidak pula kelaparan karena tak punya makanan," si pria meyakinkan.

"Aku tidak butuh itu semua. Aku masih punya rumah, rumah orang tuaku. Dan aku juga masih punya gaji untuk makan. Sudha cukup bang, aku sepertinya harus mengambil keputusan. Tidak mau lagi melanjutkan hubungan ini," tegas sang wanita dan ancang-ancang pergi.

"Please jangan seperti ini. Aku akan menikahimu dalam beberapa bulan ke depan. Percayalah. Aku sedang mebgumpulkan uang. Tidak sedikit yang kau minta. Itu uang yang banyak," ucap sang pria sembari mencegah pacarnya pergi.

"Jadi kau sadar sekarang. Dulu kau bilang bakal menyanggupi. Aku ingat kau bilang dengan sombongnya, jangankan 100 juta, 200 juta pun aku sanggupi. Sekarang kau mengeluh? Dasar laki-laki tak tau diri," geram wanita itu sembari melemparkan tamparan ke wajah kekasihnya.

"Emang kau pikir itu jumlah kecil. Hei, kau tidak pernah memikirkan aku. Pikirmu hanya aku harus halilin kamu. Dasar keras kepala. Sekali mau harus mau. Uang saja kau pikirkan. Di tambah omongan orang yang tak pernah kau saring," ujarnya dengan nada keras. Pria ini nampak mulai emosi.

"Itu urusan dan resiko atas komitmen mu. Makan tu cinta sampai kenyang. Aku bukan anak SMA yang bisa kau umbar keyakinan. Aku perempuan dewasa yang sudah harus nikah," balasnya sembari berjalan pergi. Menaiki jembatan penyebrangan ke arah stasiun kereta. Pelan hingga sosoknya tak pernah kelihatan lagi.

Wanita itu berlalu. Tinggal kami berdua dengan pemikiran kemana-mana. Saya lihat ia terus memencet handpone. Sesekali mengumpat kesal. Wajahnya murka.

"Entah apa kemauan wanita. Setidaknya mereka sedikit bersabar kenapa. Kalau uang gampang di cari buat apa harus menunda.," ujarnya padaku. " sekarang di blok pula. Sialan,".

Saya tak menanggapi. Harapanku hanya ingin cepat pulang. Merebahkan diri dan melupakan dua percakapan manusia yang membikin dada serasa sesak. Membikin pikiran melayang jauh di ufuk timur. Pada seorang wanita yang menunggu kabar dariku.

Lama nian hujan berhenti. Sekalipun berhenti hanya sebentar. Saya putuskan pulang. Berjalan pelan dibawah jembatan. Walau sedikit hujan menghujam sepatu.

Saya rebahkan badan sesampai di kamar. Meraih handpone dan membuka sebuah pesan yang sangat ku kenali. Sang kekasih hati.

"Tiga bulan lagi kamu tidak menikahi aku. Maka cukup sampai di situ hubungan kita. Aku sudah muak dengan harapan yang kamu berikan" 

Aih apes sekali nasibku. Niat hati bermain mimpi malah berujung pedih. Dua insan manusia tadi seakan tau saya dirundung  masalah yang sama....(sukur dofu-dofu)

Kapan Kau meminangaku bang, aku tak ingin menghabiskan umurku dengan menunggu sesuatu yang tak pasti

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun