" Ya, emang sekarang aku sedang apa? kamu tau apa usahaku?, semua ku kerjakan. Ada duit tidak ada duit aku kerjakan. Perkawinan itu bukan hanya sekedar hari bahagia memakaikan cincin dan ijab kabul. Bukan. Aku berpikir bagaimana kelanjutan setelah perkawinan. Itu yang kupirkan. Aku tak mau sehabis nikah, harus memasukan lamaran kesana kemari," jelas sang pria.
" Bulshit,"Â ujar wanita itu sembari melepaskan pelukan pacarnya. " Kau pikir aku percaya, tidak. Sudah cukup kau meyakinkan ku dengan harapan yang tidak ada hasilnya. Aku tak percaya lagi. Justru dari sekarang kau harus cari kerja. Gunakan ijasah magister mu. Bukan menyimpannya dalan lemari,"Â
Ah, rumit sekali dua insan manusia ini. Saya berharap hujan cepat berlalu. Dan, memisahkan diri dari obrolan perihal pembuktian ini.
" Percayalah padaku, bersabarlah sedikit. Apa yang kulakukan adalah untuk menjamin kamu tidak kehujanan karena tak punya rumah dan tidak pula kelaparan karena tak punya makanan," si pria meyakinkan.
"Aku tidak butuh itu semua. Aku masih punya rumah, rumah orang tuaku. Dan aku juga masih punya gaji untuk makan. Sudha cukup bang, aku sepertinya harus mengambil keputusan. Tidak mau lagi melanjutkan hubungan ini," tegas sang wanita dan ancang-ancang pergi.
"Please jangan seperti ini. Aku akan menikahimu dalam beberapa bulan ke depan. Percayalah. Aku sedang mebgumpulkan uang. Tidak sedikit yang kau minta. Itu uang yang banyak," ucap sang pria sembari mencegah pacarnya pergi.
"Jadi kau sadar sekarang. Dulu kau bilang bakal menyanggupi. Aku ingat kau bilang dengan sombongnya, jangankan 100 juta, 200 juta pun aku sanggupi. Sekarang kau mengeluh? Dasar laki-laki tak tau diri," geram wanita itu sembari melemparkan tamparan ke wajah kekasihnya.
"Emang kau pikir itu jumlah kecil. Hei, kau tidak pernah memikirkan aku. Pikirmu hanya aku harus halilin kamu. Dasar keras kepala. Sekali mau harus mau. Uang saja kau pikirkan. Di tambah omongan orang yang tak pernah kau saring," ujarnya dengan nada keras. Pria ini nampak mulai emosi.
"Itu urusan dan resiko atas komitmen mu. Makan tu cinta sampai kenyang. Aku bukan anak SMA yang bisa kau umbar keyakinan. Aku perempuan dewasa yang sudah harus nikah," balasnya sembari berjalan pergi. Menaiki jembatan penyebrangan ke arah stasiun kereta. Pelan hingga sosoknya tak pernah kelihatan lagi.
Wanita itu berlalu. Tinggal kami berdua dengan pemikiran kemana-mana. Saya lihat ia terus memencet handpone. Sesekali mengumpat kesal. Wajahnya murka.
"Entah apa kemauan wanita. Setidaknya mereka sedikit bersabar kenapa. Kalau uang gampang di cari buat apa harus menunda.," ujarnya padaku. " sekarang di blok pula. Sialan,".