" Berapa harga nya? Tanyaku lanjut.
"Kalau baby tuna ya tak lari dari Rp 15 -17 ribu. Rata-rata harga di pengepul, maupun perusahaan segitu," ujarnya.
Baby tuna rupanya bukan menjadi fokus penangkapan nelayan dengan armada seperti yang mereka gunakan. Tuna lebih  khusus pada nelayan handline karena teknik dan metode berbeda dengan yang mereka gunakan.Â
Metode mereka hanya untuk cakalang dan tongkol yakni huhate. Jika ada tuna yang tertangkap itu hanya kebetulan. Total penangkapan pun tak sampai lima puluh kilo.
Empat jam perjalanan tak begitu terasa. Pelabuhan pendaratan sudah dijangkau mata. Kami bersiap-siap. Saya sendiri membereskan barang bawaan ke dalam ransel. Sebelum pulang, mengikuti proses penjualan hasil tangkap.Â
Baby tuna yang tertangkap dihargai  16 ribu rupiah oleh perusahaan. Harga ini kemudian dipotong dua ribu rupiah sebagai haknya pedagang perantara. Total tangkapan tuna yang mereka hasilkan hanya 20 kilogram.
Nota yang ditunjukan kapten menunjukan angka yang sudah terpotong oleh jasa perantara dan operasional lainnya. Sehingga penghasilan mereka dalam trip kali ini 2.950.000 rupiah secara keseluruhan penjualan.Â
Aku pulang membawa kesimpulan bahwa permintaan yang tinggi tidak membuat harga yang di terima nelayan menjanjikan. Tuna sebagai komoditas unggulan ekspor Indonesia tak ubahnya kubangan sampah bagi nelayan.Â
Banyak tangan-tangan tersembunyi seperti kata Adam Smith menjerat nelayan. Mereka mau tak mau menerima keadaan tersebut dan hanya menjadi price maker dari pasar yang katanya menjanjikan kesejateraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H