Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Filosofi Kapal

2 September 2022   19:59 Diperbarui: 3 September 2022   13:55 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alkisah....suatu ketika

Nada dering telpon berbunyi. Kapten menelpon," Jadi ikut melaut tidak, kami sudah siap dan menunggu kamu" Ujarnya dibalik telepon

Aku tersentak, lupa harus naik kapal ke dua hari ini. Niat hati ingin rebahan setelah pulang mewancarai narasumber gagal total. Kenyamanan tempat tidur berbahan dasar kapuk ini harus aku tinggalkan. 

Rasa lelah seketika hilang entah ke mana. Kepanikan melanda, ku raih apapun yang ada dihadapan dan memasukannya ke dalam ransel. Aku buru-buru  hingga lupa memasukan jaket yang bakal ku sesali kelak.

Aku menuju lokasi pelabuhan nelayan. Setibanya, Aku lari terburu-buru ke pelabuhan mencari kapal Inka Mina yang akan ku ikuti. Kehadiranku membuat kapten langsung menginstruksikan Abk untuk siap-siap berangkat. Aku naik dan kapal benar-benar berlayar.  

Aku masuk ke ruang Kapten dan meminta maaf. Menjelaskan kehilafan ku, namun kapten menanggapinya dengan bercanda " Kalau kamu datang jam 10 malam bisa-bisa gagal berangkat " ujarnya sambil tertawa.

Kapten kemudian mengarahkan agar meletakan barang bawaan di ruang pribadinya.  Bendahara yang sedari tadi bersama kapten melakukan teasisinya. Tradisi memperkenalkan satu persatu ABK.

Senangnya aku berkenalan. Mereka akan menjadi keluarga dalam perjalanan sehari semalam di laut. Saking senangnya aku berkeliling melihat-lihat seisi kapal. Naik, turun, kedepan dan kebelakanh dengan bebas. Satu persatu kusalami, memperkenalkan diri. Namun keadaban ku rupanya masih belum cukup. 

Seorang Abk, berbadan tegar. Sedikit pendek dariku. Wajahnya penuh breokan, rambutnya ikal tak beraturan dengan ciri khas kemerahan di ujung pangkal. Tanda alami sinar matahari, menegurku dengan kasar.

" Bos, kalau boleh jangan pakai sendal kesana kemari di kapal, ini tempat kami mencari rejeki. Tolong hargai" Ucapnya dengan mimik wajah sedikit geram. Niat hati membangun kedekatan harus berujung teguran.

Aku tak lagi melanjutkan safari di kapal ini. Berlahan sendal terlepas seirama dengan teguran. Aku meminta maaf namun ia tak peduli, dan kembali mengambil sebilah kail lalu ia ikatkan bulu ayam sebagai mata pancing. Kail yang digunakan untuk memancing. 

Duduk aku ditepian  kapal, merenungi teguran yang membikin hati jadi tidak nyaman. Kata-katanya meresap kedalam perasaan. 

Aku memperhatikan, kapal ini benar-bense bersih. Nelayan-nelayan atau ABK tak luput dari perhatikan.  Tak ada yang menggunakan alas kaki. Tak ada sepuntung rokok, atau secuil kotoran beserakan dilantai kapal. 

Aku menyadari  perenungan kata-katanya. Sungguh keterlaluan semangatku hingga lupa ada adab-adab yang ditanamkan di dalam kapal. Walau pekerjaan kapal ini menghasilkan bauh-bauh anyir karena darah ikan, tapi adab tetaplah adab.

Aku masukan sandal ke dalam ransel. Kemudian duduk termenung dibalik ruang kemudi kapten hingga sore berganti malam.

Pukul delapan malam, dibawah gemerlapnya bintang, kapal terus melaju ke tambak ikan teri. Bermalam kami di sini, mengklaim lebih dulu isi tambak ini sebelum nelayan lain datang esok pagi. 

Aku berbincang dengan kapten di ruang kemudi, sebelum koki kapal  memanggil makan malam. Di dapur,  15 Abk sudah menunggu dan kami makan malam dengan menu sederhana. Nasi, ikan goreng dan sambal dabu-dabu; campuran bawang, cabai, tomat di tumis lalu dihaluskan.

 Makanan sederhana namun mewah bagi nelayan. Cukup makan untuk tenaga adalah keharusan . Tak perlu mewah, atau mahal. Tak cukup kantong operasional dikeluarkan untuk membeli makanan mahal. Cukup dua karung beras, telur, mie instan dan ikan dari hasil pancing.

Dokpri
Dokpri

Makan malam seperti adalah manifestasi kehangatan, kekerabatan. Tawa dan cerita berkembang seiring suapan demi suapan masuk ke mulut. Tak ada kecangungan. Pun dengan pria brewokan yang menegurku sore tadi.

" Bang, maaf soal teguran sore tadi," sapanya

"Tidak apa bang, setidaknya itu menjadi pengingat bagi ku untuk lebih menghargai tuan rumah," sambutku

" Teguran saya agar kita dapat menghargai wadah yang memberikan keselamatan dan rejeki utamanya bagi kami nelayan," jelasnya

Kedua kalinya aku meminta maaf atas ketidaksopanan yang kutunjukan sore tadi. Setidaknya, aku memahami bahwa adab kehidupan seyogyanya dharus di kedepankan di mana saja. Tidak sekali-kali terlupakan dalam kehidupan antar manusia. Adablah yang membikin manusia menjadi manusia. Membedakan satu dengan lainnya.

 Makan malam  itu menjadi malam yang penuh keakraban dengan para Abk apalagi aku diistimewakan mendapat kepala ikan sebagai santapan. Kepala ikan merupakan menu makanan yang paling di minati di timur. Paling laku di meja makan. 

Diolah apapun---dibakar, di goreng, di rebus, di santan, dll- selalu menjadi rebutan. Entah apa dasarnya, namun kebudayaan makan suatu suku, kaum, kelompok tidak semerta-merta diperdebatkan apalagi dilarang memakai kajian ilmiah.

Makan malam selesai, beberapa dari kami bergerak ke anjungan kapal. Ada yang memilih tidur, duduk menyendiri, memperbaiki umpan bulu ayam hingga sekedar meluruskan badan. 

Di anjungan, di tengah terpaan angin malam yang menusuk sendi, poro-pori, tulang belulang kami berbagi kisah. Sungguh menyesal aku tak membaqa jaket.

 Aku termakan penasaran kemapa kapal ini begitu istimewa. Jawaban sebelumnya memantik diri untuk bertanya makna menghargai kapal ini.

" Bang, maaf boleh bertanya," tanyaku pada pria berewokan yang kini menjadi kawanku. Namanya Iwan (40 tahun).

" boleh,  asal jangan matematika. Tak pandai saya," ujarnya sembari bercanda. Abk lain ikut menimpal " sini saya ajarkan," sembari menunjukan dua jemari kasar, besar dan menghitung layaknya bapak mengajari anak berhitung. Tawa pecah seketika.

Aku melanjutkan " Apa filososfi dari kapal ini, sehingga harus di hormati,"

"Begini, sebelum menjawab saya akan memberikan kamu sebuah pertanyaan. Andaikan kamu memiliki perahu sampan yang sudah lapuk, apa yang akan kamu lakukan?. Di belah lalu dijadikan kayu bakar sebagai sumber api di tungku dapur atau biarkan rusak sendiri di laut," Tanya ia yang membuatku sedikit bingung.

" Di jadikan kayu bakar bang" jawabku.

" Tidak salah, semua ada manfaatnya. Namun pemikiran mu sedikit berbeda dengan kami, nelayan. Saya memilih dibiarkan di laut karena itu adalah tempatnya. Pernghormatan patut diberikan. Bayangkan sudah berapa ratus ton ikan dihasilkan, berapa banyak ombak dan angin yang dihadang, berapa banyak rejeki yang diberikan oleh perahu atau kapal yang kita naiki hanya untuk membawa kita selamat sampai daratan dan bertemu keluarga.  Membikin tungku dapur berasap, seragam sekolah dan fasilitasnya terpakai anak, menyisipkan lembar demi lembar uang untuk istri. Itulah kenapa menghargai, merawat dan menghormati setiap perahu yang kita naiki. Ia memanh tak bernyawa, namun lebih dari itu sebenarnya bernyawa,"jawabnya.

Aku diam. Menangkap filsofi  dalam penjelasannya. Selama ini aku beranggapan bahwa perahu hanyalah rakitan dari bongkahan kayu atau viber glas yang  didesain sedemikian rupa hanya untuk bisa mengapung, dan dipakai nelayan mencari ikan. Nyatanya salah. Lebih dari itu, berharga. Suatu kesatuan yang menjadi penyeimbang antara hidup dan mati.

" Perahu, kapal atau sejenisnya adalah sumber penghidupan. Kita bisa saja menumpang hanya untuk ke seberang. Namun dalam proses menyebrang itu, tanpa sadar ada perlindungan dari ganasnya ombak atau potensi celaka yang menghantui. Ada orang-orang yang berusaha sekuat tenaga menyeimbangkan,membelokan, menjaga posisi agar kapal tidak celaka. Selapuk-lapuknya kapal, ia tak akan tenggelam jika tugas dan masanya belum selesai. Belum dikehendaki ia karam, sejauh itupulah ada kehidupan dan penghidupan," timpal salah satunya.

Ia melanjutkan " Di kepulauan seperti kita ini, kapal tak sekedar transportasi. Tapi pemberi kehidupan bagi pelosok-pelosok. Berapa banyak sudah ia mengangkut bahan pangan dari satu ke satu. Ke dangkalnya karang, ke ganasnya ombak pesisir dan ke dalam semak belukar mangrove. Pun nelayan seperti kami. Bergantung pada kekuatan kapal. Kepercayaan selalu tertanam kuat pada setiap kapal yang kami naiki. ,"

Aku diam. Terus menyimak hingga kapal sandar di sebuah tambak. Namun sepertinya alam dan kapal bersatu memberikan pemahaman mendalam padaku. Rupa-rupanya pelajaran belum selesai. 

Belum lama kami mengikat talu bandar di bagan. Angin kencang, membawa serta amukan ombak menyapu. Kapten berteriak secepatnya melepas tali. Terlambat, kuatnya angin menyebabkan kapal tertarik. Tali bandar belakang kapal mengoyak dan menghancurkan kayu bagan tempat tali di ikat. Lepas kayu tersebut namun tidak menyebabkan bagan hancur.

Aku lari kedalam kamar kapten. Dibelakang ruang kemudi. Mengemasi barang-barang berpikir hari ini akan berenang. Sejauh itu kepanikan membuat keberanian ciut sekali remas. Kapten mematikan semua lampu penerangan dan hanya menghidupkan lampu suar. 

Seorang abk kemudian berdiri di anjungan sebagai pengarah tujuan. Kulihat  berdiri dan berpegang pada tiang kapal tempat lampu sorot. Hujan beserta angin rupanya menggangu penglihatan. Ia tak bergerak. 

Sesekali diangkat tangannya ke kening agar pandangannya tak terganggu. Menebak-nebak di mana tanjung yang dituju untuk berlindung. Sesekali menoleh ia ke belakang memberi isyarata kepada kapten. Dan, kapten sigap, tak membiarkan sedikitpun fokusnya hilang. Membelokan ke kiri dan ke kanan.

Kapal berayun tak beraturan. Miring kiri, miring kanan, naik turun karena gelombang. Jika hanya hujan tak masalah bagi nelayan. Ombak tidak ikut serta. Namun angin adalah momok yang lain. Ia akan membawa serta ombak yang membikin kapal atau nelayan harus secepatnya menyingkir agar tidak karam.  Sungguh sebuah ujian di tengah gelap gulita malam tanpa ada penerangan memadai. Lampu suar kapalpun seakan tak berfungsi. Tak bisa digerakan. Hanya satu arah.

Aku panik, pucat, gemetaran. Celana panjang ku ganti celana pendek. Bahan pakaian diganti dengan yang ringan agar ketika terjadi apa-apa, tidak memberatkan dalam berenang. Pikiranku akan karam dan terbalik terus menghantui.

 Duduk diam dalam kamar kapten dan memanjatkan doa. Tak ada lagi yang dipikirkan selain bagaimana caranya nanti jikalau kapal mengalami keadaan yang tidak bisa terselamatkan. Bagaimana cara berenang, apa yang harus di raih duluan. Bayang-bayang ini terus menghantui.

Cukup lama kapal terhantam badai. Pria yang berdiri di depan juga tak bergerak. Masih berdiri dan mencari-cari teluk tempat teraman dari badai. Sudah pasti kedinginan menyerang. 

Kata nelayan lain, ia punya ilmu membaca cuaca dan ombak. Dan hanya dia yang bisa berdiri disitu. Ah aku jadi ingat. Di negeri ini, di wilayah kepulauan ini, hal semacam ini lumrah. 

Kehebatan sebuah kapal bergantung pada tiga sosok-kapten, masinis dan pawang pembaca arah,. Orang-orang percaya, kehadiran mereka dalam sebuah kapal dapat memberi rasa aman. Ketika badai datang, merekalah yang berdiri di samping atau depan kapal. Diam. Sembari mulut komat kamit. Matanya terus arahkan ke depan. Hujan badai tak dipedulikan. Seakan meminta izin atau bertarung dalam batin untuk dapat lewat dengan selamat.

Begitu terus hingga kapal lolos dari badai. Sosok seperti ini ada dalam setiap kapal di Maluku Utara, dari yang kecil hingga besar. Kepercayaan tertanam erat dalam kehidupan sosial.

Aku tak memperhatikan berapa lama kapal terhantam badai, aku terlanjur kaku dalam diam. Kesadaran ku hadir ketika kapten menengok ke dalam kamar sembari tertawa dan mengejek " ah katanya anak laut. Masa takut,"

"sialan si kapten masih beraninya mengejek keberanian ku," gumamku.

"Sudah tidak apa-apa, sudah aman," seruh kapten.

Aku letakan tas ransel yang sedari tadi ku peluk erat. Lalu berlahan keluar dari kamar. Sebuah tanjung depan sebuah perkampungan pesisir kapal berlindung. Ku perhatikan tanjung ini dengan seksama. Namun tetap tak dapat dikenali. Beberapa kapal nelayan juga nampak ada di sini. Sama-sama berlindung dari amukan cuaca.

"Kalau angin tadi, biasanya kami berlindung di sini. Sukurlah kita tidak berada di laut lepas. Bisa-bisa kita berlindung ke pulau Obi atau teluk lain di Luar Pulau Bacan," jelas kapten.

Aku legah. Rupanya sudah aman. Segala keraguan yang menyerang berlagan minggat walau jiwa masih lemah. Aku bergeser ke kamar pemancing. Duduk diantara nelayan yang tertidur pulas. Kamar sempit yang dihuni lebih dari 10 ABK. Berhimpit-himpitan hingga tak tersisa ruanh gerak. Rupanya badai tadi hanya perkara kecil bagi mereka.

" Tenang bang, kapal ini kuat. Badai tadi ibarat butir pasir di pantai. Sudah biasa kami menghadapi yang begitu," seruh seorang Abk. Ia lantas menceritakan beberapa badai hebat yang pernah dihadapi mereka.

Aku tak peduli. Biasa bagi mereka, luar binasa bagiku. Aku tak menanggapi dan memutuskan mengecek kondisi kapal. Namun baik-baik saja. Tak ada kerusakan. Hanya beberapa barang yang berserakan. 

Sungguh benar kata mereka, rumah terapung ini layak dihargai. Aku tak lagi berkesimpulan dan menyepakati semua pembahasan betapa pentingnya frasa pelindung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun