Aku tak lagi melanjutkan safari di kapal ini. Berlahan sendal terlepas seirama dengan teguran. Aku meminta maaf namun ia tak peduli, dan kembali mengambil sebilah kail lalu ia ikatkan bulu ayam sebagai mata pancing. Kail yang digunakan untuk memancing.Â
Duduk aku ditepian  kapal, merenungi teguran yang membikin hati jadi tidak nyaman. Kata-katanya meresap kedalam perasaan.Â
Aku memperhatikan, kapal ini benar-bense bersih. Nelayan-nelayan atau ABK tak luput dari perhatikan. Â Tak ada yang menggunakan alas kaki. Tak ada sepuntung rokok, atau secuil kotoran beserakan dilantai kapal.Â
Aku menyadari  perenungan kata-katanya. Sungguh keterlaluan semangatku hingga lupa ada adab-adab yang ditanamkan di dalam kapal. Walau pekerjaan kapal ini menghasilkan bauh-bauh anyir karena darah ikan, tapi adab tetaplah adab.
Aku masukan sandal ke dalam ransel. Kemudian duduk termenung dibalik ruang kemudi kapten hingga sore berganti malam.
Pukul delapan malam, dibawah gemerlapnya bintang, kapal terus melaju ke tambak ikan teri. Bermalam kami di sini, mengklaim lebih dulu isi tambak ini sebelum nelayan lain datang esok pagi.Â
Aku berbincang dengan kapten di ruang kemudi, sebelum koki kapal  memanggil makan malam. Di dapur,  15 Abk sudah menunggu dan kami makan malam dengan menu sederhana. Nasi, ikan goreng dan sambal dabu-dabu; campuran bawang, cabai, tomat di tumis lalu dihaluskan.
 Makanan sederhana namun mewah bagi nelayan. Cukup makan untuk tenaga adalah keharusan . Tak perlu mewah, atau mahal. Tak cukup kantong operasional dikeluarkan untuk membeli makanan mahal. Cukup dua karung beras, telur, mie instan dan ikan dari hasil pancing.
Makan malam seperti adalah manifestasi kehangatan, kekerabatan. Tawa dan cerita berkembang seiring suapan demi suapan masuk ke mulut. Tak ada kecangungan. Pun dengan pria brewokan yang menegurku sore tadi.
" Bang, maaf soal teguran sore tadi," sapanya