"Kalau angin tadi, biasanya kami berlindung di sini. Sukurlah kita tidak berada di laut lepas. Bisa-bisa kita berlindung ke pulau Obi atau teluk lain di Luar Pulau Bacan," jelas kapten.
Aku legah. Rupanya sudah aman. Segala keraguan yang menyerang berlagan minggat walau jiwa masih lemah. Aku bergeser ke kamar pemancing. Duduk diantara nelayan yang tertidur pulas. Kamar sempit yang dihuni lebih dari 10 ABK. Berhimpit-himpitan hingga tak tersisa ruanh gerak. Rupanya badai tadi hanya perkara kecil bagi mereka.
" Tenang bang, kapal ini kuat. Badai tadi ibarat butir pasir di pantai. Sudah biasa kami menghadapi yang begitu," seruh seorang Abk. Ia lantas menceritakan beberapa badai hebat yang pernah dihadapi mereka.
Aku tak peduli. Biasa bagi mereka, luar binasa bagiku. Aku tak menanggapi dan memutuskan mengecek kondisi kapal. Namun baik-baik saja. Tak ada kerusakan. Hanya beberapa barang yang berserakan.Â
Sungguh benar kata mereka, rumah terapung ini layak dihargai. Aku tak lagi berkesimpulan dan menyepakati semua pembahasan betapa pentingnya frasa pelindung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H