Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tukang Pijat Kenalanku

1 September 2022   15:50 Diperbarui: 1 September 2022   15:56 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua tapak tangan dengan sepuluh jarinya menekan titik-titik saraf biang kelelahan. Kadang lembut, kadang keras. Terasa betul kokoh jemarinya. Badan yang keras dipaksa menyerah. Tak berdaya, seperti menemukan tuan penakluk. 

Bau minyak telon dan sedikit campuran minyak khas yang dibawa dari rumah terasa menyengat di hidung.  Kepala, pundak, badan, kaki dipijatnya secara teratur, sistematis dan dilakukannya dengan sangat lama. Tidak pernah saya dipijit selama ini. Sampai-sampai ketiduran adalah opsi terbaik. Tapi bukan pijat plus-plus, tenang saja...

Saprianto, begitu ia memperkenalkan diri di balkon hotel setelah selesai memijat salah satu pejabat negara. Saya menculiknya ketika ia hendak pulang. Dan, menggiringnya ke balkon hotel. Saya paksa dia agar mau memijatku juga.

Namun sebelum itu, duduk kami menyeruput kopi, dan berbincang.  Memanggilnya kemari bukan persoalan memakai jasanya saja, tetapi lebih dari itu. Harus saling mengenal. Manusia dan manusia.

Pria berumur 51 tahun ini, berprofesi sebagai tukang pijat tradisional di Jogya. Tak punya tempat praktek seperti kebanyakan lainnya. Mereka akan di panggil jika ada konsumen yang  ingin di pijat. Lewat satpam hotel, atau siapapun yang ada dalam hotel.

Di hotel tempat saya menginap, relasinya dengan satpam. Ia dapat job jika dihubungi satpam. Dari situ kemudian ia bergerak dari rumah yang jaraknya tak lebih satu meter dari pagar hotel. Ia cukup melewati pintu samping yang biasa digunakan karyawan hotel.

"Sudah lama pak pijat," tanyaku sembari memperhatikannya dalam-dalam. 

Rambutnya hitamnya hampir kalah dengan ubanan. Tak berkumis atau berjenggot. Matanya hitam kecoklatan. Namun pandangannya nampak jelas ada begitu banyak fase kehidupan telah dilalui.

"Dari sebelum nikah pak, sampai sekarang punya dua anak yang sudah bekerja," jawabnya sembari mengadukan tangan ke paha, malu-malu. Sungguh sebuah adab yang sering ku jumpai di Jawa. Sikap menghargai lebih-lebih saling menghormati begitu tinggi. 

"Belajar atau memang turunan pak," tanyaku lagi.

" saya generasi ke empat pak bisa pijat. Tidak belajar juga. Cuman waktu pijat orang katanya enak," ceritanya.

Ia pun membeberkan bahwa tak belajar langsung. Hanya punya sedikit keturunan tukang pijat. Dari Mbah buyut, Bude, Bule dan dia sendiri. 

Ia awalnya memijat rekan kerjanya. Waktu itu, sedang pengerjaan proyek bangunan. Temannya yang capek minta di pijat. Ternyata pijatannya enak. Dari situlah ia sedikit terkenal. Lewat mulut ke mulut.

" Berarti anak-anak bisa juga pak," tanyaku.

" Kalau anak justru tidak tertarik. Kedua anak lelaki saya lebih suka kerja di kantor. Ya Allhamdullih kerjaan saya bisa membuat keduanya bisa kerja di kantor," ceritanya.

"Oh gitu ya pak. Terus katanya ni pak, Pijat itu pakai doa-doa khusus ya," tanyaku penasaran.

"Kalau doa si saya tidak. Saya setiap mijat hanya berdoa semoga dengan pijatannya, orang tersebut bisa hilang lelahnya, tambah sehat dan rejekinya lancar," jawabnya.

Sungguh ajaib orang ini. Tak hanya rejeki nya tapi di doakan juga agar si pasien lancar rejeki. "Ilmu macam apa ini," heranku. Keihlasannya membuat saya tak habis pikir. Sungguh orang yang paling ikhlas adalah orang-orang yang telah melewati berbagai ujian kehidupan.

Kami terus mengobrol. Dan belum mau aku dipijat. Ia menceritakan bahwasanya, sudah banyak memijat orang terutama pejabat. Ia menyebut beberapa pejabat yang tak asing. Baik di politik maupun jendral Polri atau TNi. 

Menurutnya, mereka itu tak kenal waktu. Kalau igin di pijat, jam berapapun harus siap. Dan, sering di jemput oleh ajudan ke rumah. Ia tentu tak bisa menolak. Pekerjaannya, tidak untuk menolak datangnya rejeki.

Jika orderan sepi, ia nyambi menjadi kuli bangunan. Kuli proyek rumah. Katanya, belum pernah mengerjakan proyek gedung bertingkat. Ingin tapi tidak pernah di ajak.

Sejak mengobrol, barulah ia memijat saya. Dan memang benar, sungguh luar biasa pijatannya. Tak tanggung-tanggung, untuk satu kali pijatan memakan waktu satu setengah jam. Dari ujung kepala sampai ujung kaki dilibasnya semua.

"Saya sudah biasa bang. Memang begini durasinya," ujarnya.

"Terus dalam sehari berapa orang," tanyaku heran.

" Tergantung bang. Kadang 2, 3 dan 4 orang," jawabnya.

"Lama begini juga," sahutku.

" Iya bang" jawabnya.

Ketika saya bertanya apakah ia tidak lelah. Jawabanya sungguh menohok. " Namanya kerja bang. Capek pasti tapi tidak pantas untuk dikeluhkan. Yang penting halal,"

Setelah selesai, ia merapikan semua perlatannya. Dan pamit pulang lantaran sudah ada janji dengan pasien lain. 

"Berapa bang," tanyaku.

"Waduh saya ngak tau. Terserah berapa pun yang dikasih," jawabnya. Kelihatan wajahnya binggung.

" jangan begitu pak. Bapak capek. Lama lagi pijatnya, berapa pak bilang saja," paksaku.

Namun lagi-lagi ia tak mau menyebutkan angka. Saya terus memaksanya beberapa kali namun selama itupulah jawabannya tetap sama. 

Alhasil saya membayar dan ia menerima dengan penuh sukur dan tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Sahut-sahutan terima kasih antar kami berdua tak terelakan.

"Pak bisa minta nomor kontak. Kalau ke Jogja lagi bisa hubungi bapak," pintaku.

" saya tak punya Hp pak. Nanti saya ke rumah minta nomor istri saya saja pak," sahutnya.

" Waduh jangan," tolakku. Saya akhirnya menuliskan nomor disecarik kertas lalu dibawanya pulang. Ia kemudian menginfokan nomor istrinya sekaligus ucapan terima kasih yang kesekian.

Pertemuan dengannya membawa sedikit keberkahan hidup. Disiplin, ikhlas adalah dua hal yang saya pelajari darinya. Sosok luar biasa. (Sukur dofu-dofu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun