Dua tapak tangan dengan sepuluh jarinya menekan titik-titik saraf biang kelelahan. Kadang lembut, kadang keras. Terasa betul kokoh jemarinya. Badan yang keras dipaksa menyerah. Tak berdaya, seperti menemukan tuan penakluk.Â
Bau minyak telon dan sedikit campuran minyak khas yang dibawa dari rumah terasa menyengat di hidung. Â Kepala, pundak, badan, kaki dipijatnya secara teratur, sistematis dan dilakukannya dengan sangat lama. Tidak pernah saya dipijit selama ini. Sampai-sampai ketiduran adalah opsi terbaik. Tapi bukan pijat plus-plus, tenang saja...
Saprianto, begitu ia memperkenalkan diri di balkon hotel setelah selesai memijat salah satu pejabat negara. Saya menculiknya ketika ia hendak pulang. Dan, menggiringnya ke balkon hotel. Saya paksa dia agar mau memijatku juga.
Namun sebelum itu, duduk kami menyeruput kopi, dan berbincang. Â Memanggilnya kemari bukan persoalan memakai jasanya saja, tetapi lebih dari itu. Harus saling mengenal. Manusia dan manusia.
Pria berumur 51 tahun ini, berprofesi sebagai tukang pijat tradisional di Jogya. Tak punya tempat praktek seperti kebanyakan lainnya. Mereka akan di panggil jika ada konsumen yang  ingin di pijat. Lewat satpam hotel, atau siapapun yang ada dalam hotel.
Di hotel tempat saya menginap, relasinya dengan satpam. Ia dapat job jika dihubungi satpam. Dari situ kemudian ia bergerak dari rumah yang jaraknya tak lebih satu meter dari pagar hotel. Ia cukup melewati pintu samping yang biasa digunakan karyawan hotel.
"Sudah lama pak pijat," tanyaku sembari memperhatikannya dalam-dalam.Â
Rambutnya hitamnya hampir kalah dengan ubanan. Tak berkumis atau berjenggot. Matanya hitam kecoklatan. Namun pandangannya nampak jelas ada begitu banyak fase kehidupan telah dilalui.
"Dari sebelum nikah pak, sampai sekarang punya dua anak yang sudah bekerja," jawabnya sembari mengadukan tangan ke paha, malu-malu. Sungguh sebuah adab yang sering ku jumpai di Jawa. Sikap menghargai lebih-lebih saling menghormati begitu tinggi.Â
"Belajar atau memang turunan pak," tanyaku lagi.