Di sudut sebuah lapak kayu sederhana milik pedagang ikan eceran, kami bersapa. Seorang perempuan paruh baya berumur kira-kira enam puluh tahun ini sedang menunggu ikan-ikan di daratkan oleh nelayan. Aku lupa namanya, tapi ku sebut saja Nek Siti.
Aku duduk disampingnya setelah sedari tadi mondar mandir di pelabuhan pendaratan  mencari narasumber untuk di wawancarai. Hari ini aku seperti debt collector, mengejar narasumber menagih hutang. Keterdesakan sangat aku rasakan, lantaran dua surat peringatan dari pihak kampus sudah mampir ke emailku, jika email ketiga ku terima, maka segala reputasiku sebagai anak desa yang berhasil sekolah ke kota bakal sirna.
 Kondisi yang mengharuskanku bergerak secepat kilat seperti dalam film flash menumbangkan musuh-musuhnya. Teriknya mentari juga menjadi muasal yang mendorongku berteduh. Ajakan Dino kawanku dalam perjalanan menjadi sumber pertemuanku dengan Nek Siti. Didesaknya aku menikmati sepotong es lilin yang dijajakan pedagang guna menghilangkan dahaga.
Nek Siti menatap khidmat ke arah pelabuhan, guratan wajahnya menunjukan ada kecantikan yang terkikis oleh waktu. Rambut panjangnya telah ubanan. Pakaian yang kaos kampanye pejabat dipadukan kain bemotif batik coklat.Â
Aku lihat, ia menggengaam begitu erat sebuah tas coklat. Tangan renta yang mulai kalah oleh usia Nek Siti tak lepas walau sedetik. Tas pemberian anak yang ku ketahui pemberian anaknya itu berisi segepok uang yang akan gunakan membeli ikan. Transaksi di sini dilakukan secara tunai, jika hilang entah bagaimana nasibnya.
Aku memperhatikan dengan seksama. Ember berwarna hitam yang telah menemaninya sebagai pedagang bermodal receh seperti ratusan pedagang lain yang memenuhi Pelabuhan Panamboang Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan  masih nampak kosong.Â
Tak ada ikan cakalang, tongkol atau sorihi yang terisi. Nek Siti masih menunggu dan percaya dengan keberuntungannya. Sumringah wajahnya seperti membaca ramalan bahwa rasi bintangnya mengatakan ia masih punya harapan untuk dapat membeli ikan  langsung dari nelayan.
Nek Siti tidak mau membeli ke perantara. Modal recehnya menutup pilihannya untuk membeli dari perantara. Kalaupun harus membeli dari perantara, ia harus membayar sekitar 2000 rupiah lebih tinggi dibanding dibeli langsung dari nelayan.
Gelombang laut yang menjadi pantangan nelayan melaut sudah dua hari ini tidak bersahabat, musim penghujan dan angin timur membuat nyali para nelayan menjadi ciut. Mungkin bukan ciutnya nyali melainkan kapal dan peralatannya yang membuat mereka tidak mau melaut.Â
Kapal-kapal bertonase sedang ini tak mirip kapal nelayan Jepang atau Alaska yang sangat canggih. Kapal yang bisa melawan amukan gelombang laut dan dinginya lautan.
Ikan-ikan menjadi langkah, bahkan untuk memanipulasi hukum permintaan dan penawaran yang sifatnya sangat dasar pun tidak mampu. Jikalau kapal dan peralatannya moderen, hujan badai pun diterjang demi memenuhi permintaan.
Aku tanyakan lagi maksud dan tujuan Nek membeli ikan. Setahu ku, kebanyakan mereka yang datang ke pelabuhan ini membeli ikan untuk keperluan konsumsi, UMKM dan bisnis antar pulau.
"Saya jual kembali dari desa-ke-desa, keliling,". Jawabnya membuatku tak habis pikir. Rasa iba menyerang urat saraf.
Dugaanku setengah benar. Nek Siti seorang pedagang kecil, tetapi pedagang yang berkeliling dari desa-ke-desa di Pulau Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Pulau ini tak seperti Jakarta yang berdiri gedung-gedung pencakar langit dan berjibun alat transportasi. Walaupun menjadi ibu Kota Kabupaten, tetapi segala kemajuan pembangunan masih isapan jempol.Â
Jarak antar desa satu dengan yang lain memang bisa ditempuh dengan berjalan kaki, namun jika Nek Siti dengan usia senja ini berkeliling 4 hingga 5 desa dalam sehari, maka membayangkannya saja membuat lulut ku terasa ngilu.
Kadang jika kondisi fisik sudah tak memungkinkan, Nek Siti hanya menjajakan ikan di desanya , tak kemana-mana. Meskipun kata orang rezeki harus di jemput, tapi rezeki selalu tahu kepada siapa harus tertuju.
Di usia senja ini harusnya Nek Siti berdiam saja di rumah. Menikmati masa pensiun dengan menonton layanan streaming atau scrolling video pendek di aplikasi gratis. Ah, bermain sama cucu atau menonton televisi lebih masuk akal, menurutku. Toh, tower BTS Â pun kadang menghilangkan jejak jaringan ketika cuaca sedang bergemuruh.
Suasana hati sudah menjadi kalut dan hasrat bertanyaku susut. Pikiranku melayang teringat nenek di seberang laut, dan mataku sedikit berkabut. Tak biasanya ini terjadi. Padahal aku sering lugas bertanya hingga ke dapur rumah seseorang. Tapi apalah daya, baru sampai ruang tamu aku benar-benar menjadi tamu yang hampir tak tau diri.
Nyaris 60 menit kami duduk tanpa sepata katapun terucap seperti gambaran lagu Jamrud "tiga puluh menit kita di sini tanpa suara". Ku lihat Nek siti sesekali berdiri dan menajamkan penglihatannya kearah laut menunggu kedatangan kapal nelayan.
Tak berselang lama, kulihat di kejauhan ada kapal nelayan berukuran 25 Grosston memasuki teluk. Nek Siti dan rekan sesama pedagang receh mulai bergegas merapat ke pelabuhan. Dan, kalau menakar ukuran ember hitam dan jumlah rekan-rekannya, berhasil mendapatkan 50 kilogram ikan mungkin sudah menghabiskan seluruh keberuntungannya untuk hari ini.
Tak sempat aku mengucapkan terima kasih, sosok Nek Siti dan beberapa rekannya sudah berlalu. Lapak menjadi cukup lenggang dan hanya tersisa pemilik lapak. Kulihat pokok-pokok hujan bertebaran di atas sana, tak lagi ku lanjutkan keinginan para pedagang, pedagang receh khususnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H