Pria itu duduk di lobi sebuah hotel ternama di Jakarta saat saya menyambanginya. Ia sedang punya urusan yang berkaitan antara pemerintahan daerah dengan pusat.
Yap, pria ini seorang pejabat kenalanku. Urusannya di Jakarta sedikit mandek. Ia mengundangku menikmati secangkir kopi.
Kami keluar menysusuri gemerlapnya jalanan Jakarta. Mampir ke sebuah kedai kopi langganannya. Kedai kopi ini katanya saksi perjuangan dirinya hingga menjadi pejabat.
Meskipun statusnya sebagai Aparatus Sipil Negara, ia senang membicarakan politik. Latar belakangnya sebagai mantan aktivis yang nyemplung ke ranah pemerintahan masih menyisahkan "sifat" kritis pada dirinya.
Saya suka berbagi pandangan dengannya. Penempatan posisinya tepat. Tergantung pada siapa ia berbicara. PNS daerah seperti dirinya dengan politik itu ibarat uang koin. Memiliki sisi berbeda tapi satu kesatuan. Tak terlibat politik, tak mendapatkan posisi. Sebuah keniscayaan tak terelakan.
Kami mengobrol tentang kondisi daerah. Mulai dari nuansa politik struktural, ekonomi, sosial, dan menarik perhatian ialah soal pemekaran.
Sebuah kondisi yang sedang hangat-hangatnya. Di daerahku beberapa daerah ngotot memekarkan diri. Politisi menggoreng, akademisi gemar mengkaji, mahasiswa dan tokoh-tokoh berpengaruh gemar membuat dialog. Mengambil momen. Jaga-jaga kalau terealisasi, bisa merengsek masuk. Nyalon atau membangun peluang merebut kursi-kursi penting. Politisi dapat jabatan baru, pebisnis dapat proyek baru, akademisi dapat lahan baru.
Potensi SDA yang mempuni dan disparitas pembangunan menjadi aktor "kekecewaan" sehingga pemekaran adalah kunci. SDA melimpah utamanya sumber daya mineral sebagai sumbangsi utama PAD berbanding terbalik dengan alokasi anggaran untuk perbaikan pembangunan
"Korupsi dan dinasti politik adalah dua wujud negatif yang nampak namun rapi dari pemekaran," tegasnya
 "Bukankah pemekaran adalah kemerdekaan dalam kesemarataan pembangunan, efisiensi birokrasi, infrastruktur dan SDM serta potensi pengelolaan SDA guna mendukung PAD daerah,"? sanggaku.
"Teoritis sekali kamu," ledeknya sembari tertawa terbahak-bahak. "Daerah yang bisa pemekaran dapat membawa kebahagian bagi banyak orang. Tapi faktanya, rakyat tak kunjung sejatera. Justru timbul dua permasalahan utama. Dinasti dan korupsi."
Dinasti politik adalah salah satu wajah yang menonjol di daerah pemekaran baru. Polanya sederhana, pihak yang dianggap berjasa dalam memekarkan daerah tersebut bakal mendapat dukungan penuh melenggang maju sebagai pemimpin.
Pihak-pihak atau sosok ini adalah pahlawan pemekaran yang layak menjadi juru mudi guna membangun eksistensi pembangunan. Sehingga tak jarang, proses demokrasi yang dilaksanakan sangat cedera dari nilai-nilai demokrasi.Â
Pemekaran membutuhkan banyak SDM terutama di birokrasi pemerintahaan. Alokasi belanja pegawai tak jarang berjalan dengan manipulatif. Orang-orang diterima masih dalam lingkaran yang sama. Pun dengan pucuk kepemimpinan berbagai instansi.
Keluarga dekat, istri, ponakan, adik, kakak, mengisi posisi-posisi penting. Dari kepala dinas hingga Kepala Bidang bahkan hingga Kepala Sekolah, Camat dll. Di ranah bisnis, kolega dekat sudah tentu memegang proyek-proyek strategis.
Di sinilah awal mula politik dinasti dimulai. Selesai satu muncul satu yang tak jauh dari "trah" keluarga tersebut. Simpul kekuatan ini semakin kuat lantaran fanatisme melenceng yang begitu kuat.
"Pada akhirnya, proses demokrasi 5 tahun sekali hanyalah proses demokrasi privasi. Segala cara akan dilakukan guna memegang penuh kendali atas daerah tersebut," ujarnya.
Pada akhirnya masyarakat menjadi korban. Terutama pada pemahaman dan pendidikan politik yang rendah. Semakin diselenggarakan momentum demokrasi, selama itu pula mindset politik ibarat corong. Besar di depan namun kecil di ujung.
Pemerintahan yang sudah dinasti menyebabkan proses akuntabilitas anggaran dan penyelewengan anggaran masif terjadi. Bahasa paling halus ialah "Ranah Korupsi Baru".
Pemekaran baru berarti penalangan anggaran yang langsung dari pusat. Menurut Hidayat Syarif dalam KPOD, 90 persen DOB masih mengandalkan dana dari pusat guna menjalankan roda pemerintahan. Sehingga masif terjadi kelas korupsi baru.
Sederhananya, korupsi pada pemerintahan baru terjadi pada ranah administrasi dan ketidakterbukaan proses realisasi anggaran. Masalah utamanya sering terjadi ialah pada belanja publik dan reaslisasi proyek-proyek.
Banyak proyek-proyek publik terkendala lantaran tilep menilep anggaran yang dilakukan oknum oknum terkait. Pada akhirnya, uang yang harusnya beredar ke masyarakat guna meningkatkan daya ekonomi tidak terealisasi. Konklusinya pada PAD yang jongkok.
Fenomena ini nyata terjadi. Banyak daerah pemekaran baru mengalami masalah seperti ini. Apalagi konsep penggunaan anggaran yang efisien yang selama ini digunakan masih sangat melekat: Anggaran harus dihabiskan guna mendapatkan dana yang lebih meningkat di tahun anggaran berikutnya. Kondisi yang dinilai sebagai serapan anggaran.
Konsep ini kebanyakan saya temukan ketika akan habis masa periode anggaran. Banyak program fiktif yang dilakukan guna merealisasikan penggunaan anggaran.
"Pada intinya, pemekaran punya sisi positif dan negatif. Sehingga butuh keseimbangan penuh dalam mengawal setiap agenda. Agar tidak adanya dinasti politik dan dapat menekan perilaku korupsi," katanya.
Kami terus mengobrol. Hingga pegawai kafe meminta izin karena hendak menutup cafe. Kami pulang, namun apa yang menjadi perbincangan malam ini membentuk segmen pikir yang luar biasa.
*
Hadirnya Provinsi Baru di Papua tentu menjadi angin segar dalam mengimplemntasikan pemerataan pembangunan dan kesejateraan. Namum perlu upaya bersama agar dinasti politik dan kelas korupsi baru tidak menjadi iklim baru seiring barunya provinsi ini. (Sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H