Asap dapur mengebul, melewati corong asap tua milik kami. Nenek sedang memasak air yang Ia timba dari sumur. Aku ingat waktu itu, periode Tahun 1994. Empat tahun setelah kami berangsur kembali ke desa.
Nyala kayu bakar terus menyala. Nenek mengeluarkan setengah karung gabah. Hasil panen di kebun. Tempo itu, beras mahal. Makan dari beras yang terbuat dari jagung sudah sering. Sementara untuk makan nasi, kami harus dulu ke kota, itu pun jika punya duit. Sebab kebun-kebun warga belum menghasilkan apa-apa.
Tanaman perkebunan; cengkih dan pala habis dilahap abu vulkanik 1988 silam, tak tersisa walau sebatang pohon pun.
Ketika warga kembali ke desa, mereka baru mulai menananam. Butuh setahun lagi untuk menghasilkan. Beras dari jagung diolah menjadi sinole , hingga dimasukan ke dalam buah labuh.Â
Papeda mungkin menjadi menu utama. Tapi beras masih menjadi unggulan. Jadilah warga menanam padi dilahan seadanya. Tanpa ilmu pertanian layaknya di Jawa.Â
Kakek saya menanam padi di lahan kebun; sawah kering. Saya tak ingat ia mendapatkan bibitnya dari mana. Hasil panen kemudian menjadi simpanan warga untui dikonsumsi.
Nenek mengeluarkan stok tersebut. Dia ambilnya satu baskom kecil. Lalu di letakan ke sebuah petak kayu yang oleh kami di sebut Loseng. Di Maluku Utara sebutan nya berbeda-beda. Misalnya di Tidore di sebut Tutu Bira.
Nenek berlahan menumbuk gabah tersebut. Gabah terlepas, butir beras mulai nampak. Beliau menyaringnya ke susiru; alat terbuat dari ayaman daun pandan. Kemudian di tapis agar sisa gabah sepenuhnya hilang dan benar-benar menyisahkan butir beras untuk di konsumsi.
Nenek membersihkan lagi loseng tersebut. Ia kemudian menaruh biji kopi yang sudah disangrai memakai pasir lalu ditumbuk untuk kemudian nanti diseduh. Sekian tahun saya melihat proses pemakaian loseng tersebut.
Kenangan saya kembali setelah melihat sebuah postingan seorang kawan yang tanpa sengaja menemukan proses menumbuk beras memakai loseng. Sebuah alat yang sudah lama tidak saya lihat semenjak meninggalkan kehidupan desa tahun 1997 silam.
Postingannya mengingatkan saya pada kenangan tentang nenek yang rajin menumbuk padi gabah dan kopi.Â
Dulu, alat tersebut dimiliki oleh semua warga desa. Namun belakangan hanya tinggal beberapa. Di desa saya hanya tinggal 7 buah. Dipakai untuk membuat kue bernama Andara. Bukan sultan Andara sebutan untuk Raffi Ahmad.Â
Sebuah kue yang yang ketika dibuat penuh ritual. Tal boleh ada laki-laki selama proses pembuatan kue tersebut. Kue ini disajikan pada acara-acara khusus seperti upacara adat, pernikahan dll.
Sementara untuk beras, atau kopi tidak lagi. Semua sudah serba instan. Beras atau kopi bisa didapatkan dengan mudah. Tidak ada lagi ilmu menanam padi di lahan kering pada generasi sekarang. Kebun lebih banyak di isi Pala, Cengkih dan Kelapa.
Di Halmahera Timur, lokasi transmigrasi, mengubah gabah ke beras sudah memakai alat penggiling moderen. Sehingha eksistensi loseng berlahan mulai hilang.
Kemajuan teknolgi membuat segalanya menjadi efisien. Segala hal menjadi mudah. Walau ada biaya yang harus di keluarkan. Namun bagi saya loseng memiliki cerita tersendiri.
Saya mengingat, ada interaksi dan nilai kehidupan dalam setiap tumbukan. Nenek saya sering memberikan pesan-pesan kehidupan. Setiap tumbukan dari tanganya yang memegang tongkat loseng hingga memilah sepanjang itu ia tak pernah mengeluarkan kalimat jika tak berisi pesan bijak.
Saya ingat bahasa yang sering diulanginya setiap bersama saya, "Jangan pernah mengambil milik orang lain, itu hak mereka. Namun jika itu milikmu maka pertaruhkan segalanya." Atau, "Hiduplah dengan kebebasan. Umur akan memberikan pelajaran."
Sering sekali nasihat seperti itu di terima. Dan sudah sering sekali nasihat diberikan karena saya terlampau nakal waktu kecil.
Di ruang sosial, proses menumbuk beras untuk membuat kue atau kopi sering di isi dengan cerita-cerita antar warga. Berbagi tawa dan nasihat-nasihat. Apalagi, dalam menggunakan loseng adalah bagian nenek-nenek. Yang tentunya nasihat kepada anak cucu selalu dibetikan.
Hilangnya proses menumbuk gabah tentu bertatutan satu dengan yang lain. Diantaranya kemajuan budaya yang terus bertransformasi hingga kemajuan teknologi.
Kemajuan ini merubah aspek kebudayaan berlahan hilang. Sehingga yang ada hanya kenangan-kenangan bahwa hal tersebut pernah ada. (sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H