"Ya lihat aja airnya begini. Coklat. Mana ada ikan. Kalau dulu ma enak. Airnya masih jernih. Ikan banyak, lempar kail saja ikan masih mau makan," ujarnya menyentil kehebatan sungai ini di masa lalu.
"Memangnya kenapa pak," tanyaku.
Iapun dengan gamblang menceritakan bahwa sejak ada penambangan pasir liar, struktur sungai jadi berubah. Sungai jadi melebar dan mengikis pinggiran-pinggiran tebing dan membawa material sampah yang cukup banyak.
Pantas saja sebelum bertemu dengannya, saya sempat melihat sawah-sawah yang berada tepat di pinggir sungai terkikis dengan ekstrim dan bakal hilang jika kondisi ini terus terjadi. Sawah-sawah itu hanya akan tinggal kenangan bagi pemiliknya.
Ketika sampai pun, saya harus berkutat dengan beceknya pinggiran sungai. Padahal menurut penuturan warga, tempat saya berpijak dulunya merupakan lapangan bola saat mereka masih kecil.
Aku jadi mengingat percakapanku dengan seorang warga. Di mana sungai ini dulu banyak ikannya, bahkan para vloger mancing  berkunjung dan membuat konten. Apalagi, jika sudah musimnya, ikan-ikan bak menutupi aliran air. Isinya ikan semua.
Pasir merupakan material utama dari sungai ini. Pinggiran sungai di desa Karanggude ini ditutupi oleh pasir. Sehingga warga banyak memanfaatkan kondisi itu sebagai tempat melepas penat kala sore menjelang.
Mancingpun gampang. Sejam dua jam sudah penuh hasilnya. Namun sekarang, sejam pun sudah susah payah.
"Selain penambangan pasir illegal, praktek penangkapan juga seperti memancing 10 tahun belakangan sudah berubah. Dulu orang makai joran, sekarang setrum," ujarnya.
Lagi-lagi aku dibawa kembali mengingat  ketika di tujukan alat setrum yang terbuat dari AKI yang katanya memiliki kekuatan 1.000 volt. Alat ini katanya dapat menghasilkan banyak ikan dibanding memancing.