Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membasuh Wajah di Ujung Jari

1 Juli 2022   22:02 Diperbarui: 13 Juli 2022   05:25 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terkesima dengan Sawah | Dokumentasi pribadi

Mobil melaju menyusuri gelapanya malam, menembus rimbunya hutan. Sesekali terdengar desingan ban mobil lantaran banyaknya kelokan menuju desa.

Sejak keluar dari Jakarta pukul lima sore tadi, saya begitu antusias lantaran baru pertama kali menuju desa ini. Antusias ini membuat saya tak bisa tidur selama perjalanan. Dan, memilih menyaksikan setiap detail jalanan yang kami lalui.

Pukul tiga dini hari kami sampai di tujuan. Hujan menyambut ketika kaki menginjak tanah di desa yang berada di Kabupaten Kebumen. Tepatnya, Desa Karanggude. 

Di desa inilah saya menghabiskan waktu selama tiga malam tiga hari dengan berbagai aktivitas dan pergumulan sosial yang saya lalui. Mempelajari seluk beluk kehidupan yang bagiku sangat unik, sekaligus menginspirasi.

Saat sampai, tuan rumah kemudian menyuguhkan kopi dan kacang rebus. Kopi yang disajikan dengan unik lantaran masih memakai termos penghangat air yang diseduh secara sederhana. 

Sebuah pembukaan yang mengingatkan saya tempo dulu, ketika kopi diseduh dengan cara yang sama. Sebuah nostalgia yang hadir menyapa.

Pukul enam pagi, ketika mentari beranjak naik, aku sudah menyusuri tepian-tepian sawah. Memotret setiap sudut yang dirasa indah. Ini adalah pemandangan terindah bagiku sebagai orang timur yang sangat asing dengan sawah.

Walau kehadiran ini tak cukup terpuaskan lantaran padi sudah dipanen, dan menyisihkan sawah-sawah yang tak tertanami lagi namun suasana sawah begitu sangat indah. 

Di tengah penelusuran ini, aku berpapasan dengan para petani yang menuju sawah. Uniknya, termos air panas, dan tentu saja kopi menjadi bawaan petani. 

Di sisi lain, dua tiga orang warga juga sama. Sedang ngopi di gubuk sembari membincangkan perihal sapi-sapi yang di tawari pembeli. Kuperhatikan lagi, termos air panas berada di sisi mereka. 

Perkenalan singkat kami lalukan namun tidak membangun obrolan secara gamblang. Aku harus pulang lantaran panggilan untuk sarapan. 

Dan kagetnya, selama hidup aku baru pertama kali di jamu makan dengan menu sederhana tapi sangat nikmat. Makan tiga hari sehari, yang kadang membuat kami makan sampai mengeluh.

Salah satu makanan yang menjadi favorit ialah makanan yang terbuat dari singkong. Sebuah makanan olahan yang diolah hingga mirip seperti beras. Saya lupa namanya, tetapi menu ini selalu di sajikan selama kami berada di sini. 

Tak lupa selama tiga hari pula, kopi selalu disajikan ke mana pun saya bertamu. Sebuah budaya ngopi yang sangat hangat.

Hari-hari berikutnya saya berkenalan dengan banyak warga, salah satunya Pak Agus yang biasa di sapa Pak RT. 

Bersama Pak RT, saya mengetahui banyak hal, terutama perihal bertani, geografis desa hingga budaya.

*

Bersama Pak RT dan salah satu Warga | Dokumen Pribadi
Bersama Pak RT dan salah satu Warga | Dokumen Pribadi

Malam kedua, Pak RT serta dua warga datang bertamu. Obrolan hangat kami lakukan utamanya perihal kebudayaan antara timur dan barat. seperti memancing, ikan, makanan hingga sistem pertanian. Bagian pertanian ini kemudian membawa kami pada diskusi yang panjang.

Saat ini memasuki musim kemarau, warga memilih menanam tembakau. Sawah-sawah yang sebelumnya ditanami padi digarap kembali lalu di tanami tembakau. Tembakau-tembakau ini nantinya akan memenuhi semua petak sawah di desa ini.

"Kalau musim kemarau saat ini nanam tembakau," ujar Pak RT sembari menggulung tembakau hasil panen lalu yang dibubuhi cengkih dan kemenyan. Rokok yang bagiku sangat unik lantaran dibubuhi kemenyan. Dan baruku temukan di desa ini.

"Nah tembakau itu nanamnya susah atau tidak," tanyaku.

"Gampang kok. Yang penting rajin perawatan. Kalau ingin hasil daunnya gede. maka di pupuk dan yang penting pucuknya di patahkan agar nutrisi terkonsentrasi," jawab Pak RT.

Kami terus mengobrol perihal sistem pertanian yang memberikan pengetahuan luar biasa sebelum Pak RT berujar, "Sebenarnya tanah di tempat kalian di Maluku Utara sangat bangus untuk semua tanaman karena debu abu Vulkanik. Di sini tanah kami sudah rusak karena pupuk Urea."

Pak RT pun berujar bahwa dulunya tanah sangat gembur, untuk sawah saja bisa bisa dialiri air hingga sedalam lutut. Namun karena pemakaian pupuk urea secara terus menerus menyebabkan tanah menjadi keras dan saking kerasnya tanah sawah mereka hanya sedalam mata kaki.

"Kami warga sudah ketergantungan pada pupuk urea sehingga tanah menjadi tidak subur. Akibatnya ketika kami tidak memakai urea tanaman kami bisa jadi gagal," ujarnya.

pak Rt sedang menujukan kondisi tanah | Dokumentasi pribadi
pak Rt sedang menujukan kondisi tanah | Dokumentasi pribadi

Saya pun menanyakan sejak kapan pemakaian pupuk tersebut menjadi merengsek masuk ke budaya pertanian mereka namun tak ada kejelasan informasi yang di terima.

Tiga warga ini juga tak tahu persis kapan pupuk urea digunakan. Setahu mereka berawal dari satu dua orang petani yang kemudian merambat ke yang lainnya.

Pemakaian pupuk organik saat ini mulai di paksakan untuk digunakan namun ribetnya proses hingga layak pakai menjadikan pupuk organik masih tidak menjadi pilihan utama. 

Proses pemahaman dan edukasi juga masih belum diterima. Sehingga masifnya pemakaian pupuk yang berlebihan terus dilakukan warga. 

Obrolan malam ini membuat saya terus bertanya walau waktu sudah menujukan pukul lima dini hari. 

Saya begitu penasaran lantaran alam dan hamparan sawah yang didukung irigasi alam yang membentengi desa yang sangat indah ini ternyata menyembunyikan sebuah kondisi yakni tanah-tanah yang sekarat.

Pemakaian pupuk tanpa bimbingan dan pengetahuan menyebabkan tanah menjadi sekarat. Petani juga mau tak mau harus memakai pupuk kimia lantaran mudah diperoleh. Tentunya kondisi ini sedikit miris, dan banyak terjadi di banyak tempat. Sebuah kondisi yang harus diseriusi oleh semua pihak untuk sama-sama membangun edukasi pertanian yang baik.

Di akhir obrolan kami bersepakat akan jalan-jalan ke sawah dan ditunjukkan kondisi yang sekarang mereka hadapi. (Sukur dofu-dofu)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun