"Nah tembakau itu nanamnya susah atau tidak," tanyaku.
"Gampang kok. Yang penting rajin perawatan. Kalau ingin hasil daunnya gede. maka di pupuk dan yang penting pucuknya di patahkan agar nutrisi terkonsentrasi," jawab Pak RT.
Kami terus mengobrol perihal sistem pertanian yang memberikan pengetahuan luar biasa sebelum Pak RT berujar, "Sebenarnya tanah di tempat kalian di Maluku Utara sangat bangus untuk semua tanaman karena debu abu Vulkanik. Di sini tanah kami sudah rusak karena pupuk Urea."
Pak RT pun berujar bahwa dulunya tanah sangat gembur, untuk sawah saja bisa bisa dialiri air hingga sedalam lutut. Namun karena pemakaian pupuk urea secara terus menerus menyebabkan tanah menjadi keras dan saking kerasnya tanah sawah mereka hanya sedalam mata kaki.
"Kami warga sudah ketergantungan pada pupuk urea sehingga tanah menjadi tidak subur. Akibatnya ketika kami tidak memakai urea tanaman kami bisa jadi gagal," ujarnya.
Saya pun menanyakan sejak kapan pemakaian pupuk tersebut menjadi merengsek masuk ke budaya pertanian mereka namun tak ada kejelasan informasi yang di terima.
Tiga warga ini juga tak tahu persis kapan pupuk urea digunakan. Setahu mereka berawal dari satu dua orang petani yang kemudian merambat ke yang lainnya.
Pemakaian pupuk organik saat ini mulai di paksakan untuk digunakan namun ribetnya proses hingga layak pakai menjadikan pupuk organik masih tidak menjadi pilihan utama.Â
Proses pemahaman dan edukasi juga masih belum diterima. Sehingga masifnya pemakaian pupuk yang berlebihan terus dilakukan warga.Â
Obrolan malam ini membuat saya terus bertanya walau waktu sudah menujukan pukul lima dini hari.Â