"Kalian harus pilih dia, nanti kalau beliau menang kalian bisa jadi honorer. Apalagi kalau si A diangkat jadi kadis. Dan,saya menjamin itu,"Â
inilah bentuk menjaring basis data setiap kali pertemuan politik Pilkada dilakukan. Pada perhelatan ini, Â isu menjadi honorer tak pernah luput dari pembahasan.
Bobotannya kepada anak muda yang baru lulus kuliah hingga pada orang tua. Alhasil jualan politik ini selalu laku. Siapa saja pasti tergiur dengan janji politik yang demikian. Toh dapat jalan gratis. Bisa pakai seragam PNS dan bekerja di instansi pemerintahan.
Terkadang untuk meyakinkan janji tersebut dilakukan pencatatan nama yang nantinya nama tersebut bakal menjadi prioritas diangkat menjadi honorer.
Kondisi yang demikian ini sudah lumrah terjadi. Sebuah strategi yang sering saya jumpai. Walau pada kenyataannya ini hanyalah janji politik.Â
Banyak kondisi di mana pemimpin terpilih justru memutuskan untuk mengurangi jumlah honorer karena menjadi beban anggaran. Ngamuk? sudah pasti.Â
Cerita dan fakta yang sering saya jumpai di lapangan bahkan saya sendiri sebulan lalu diajak oleh salah satu Kabid menjadi honorer ditempatnya.
Menjadi honorer di sebuah instansi pemerintahan merupakan produk orang dalam. Banyak kenalan saya yang merupakan pegawai honorer memiliki relasi dengan pimpinan SKPD. Paling terdepan ialah relasi keluarga.
Relasi keluarga ini memiliki andil terbesar seseorang memilih menjadi pegawai honorer. Apalagi bekerja di bawah SKPD yang sama.Â
Beberapa teman saya bahkan terang-terangan mengungkapkan bahwa keputusan mereka menjadi pegawai honerer lantaran keluarga dekat mereka merupakan kadis atau kabid. Bahkan sering pula ayahnya kadis dan anak-anaknya dimasukan menjadi pegawai honorer.
Menariknya, tidak selamanya mereka menjadi pegawai honorer. Ketika koleganya di non-jobkan atau pergantian kepemimpinan, mereka otomatis dihentikan atau berhenti dengan sendirinya. Sebuah konsekuensi politik dinasti.Â
Keistimewaannya tentu saja besar. Mereka dapat leluasa bekerja atau mengatur lantaran memiliki power dalam lingkungan tempat bekerja.Â
Ada sisi di mana mereka menjadi sangat superior bahkan menjadi anak emas. Kalau sudah begini, maka sentimen dan konflik sering terjadi.
Namun satu yang tidak bisa dihindari walau karena relasi dan memiliki power tetapi beban kerja yang diterima jauh lebih berat ketimbang PNS. Ini diakui beberapa teman yang sudah tak lagi menjadi pegawai honorer.
Misalnya pengakuan salah satu teman saya, Mai. Ia merupakan ponakan salah satu Wakil Bupati yang bercerita bahwa saat menjadi pegawai honorer, mereka bak "Babu" yang kerjaannya disuru-suru.
Dari buat kopi hingga pekerjaan berat semisal penyusunan Program Kerja. Kadis katanya, hanya tinggal memerintah. Sementara yang lain menerima bersihnya. Ketika dokumen jadi barulah giliran mereka melakukan lobi-lobi.
Gaji yang tak seberapa dengan beban kerja dengan beban kerja yang tinggi merupakan suatu konsekuensi. Terkadang penundaan gaji adalah hal lumrah yang diterima. Dua hingga tiga bulan bahkan lebih.
Untuk satu ini sering terjadi. Misalnya salah satu teman saya yang juga kompasianer. Ia merupakan honorer di salah satu sekolah dasar yang mengungkapkan bahwa Ia mendapat gaji per tiga bulan. Itupun jumlahnya tak seberapa hanya sejuta lebih. Sehingga jika belum menerima gaji, Ia harus mengeluarkan biaya pribadi.
Banyak pegawai honorer baik karena relasi atau tidak, Â punya harapan atas keberlangsungan karir mereka. Salah satunya diangkat menjadi PNS, PPK atau menjadi prioritas setiap kali ada tes CPNS.Â
Harapan ini digaungkan begitu keras agar kepala daerah mau memprioritaskan mereka lewat keputusan "Politis" atau kebijakan. Kondisi ini sering bertalian erat dengan janji politik yang dibuat saat kampanye.
Temuan saya banyak terjadi di dunia pendidikan. Guru honorer merupakan aktor yang paling terdepan berhadapan dengan eskalasi politik. Banyak dari mereka menggantungkan nasib pada keputusan kepala daerah untuk diangkat menjadi PNS.Â
Apalagi jika kepala daerah terpilih merupakan kandidat yang mereka usung. Namun fakta di lapangan harapan itu tak kunjung terealisasi. Mereka justru terkatung-katung dengan nasib sendiri.
Hadirnya kompetisi dalam menjaring calon PNS yang saat ini dijalankan membuat harapan itu mulai sirna. Walau pada kondisi tertentu, banyak yang masih percaya bahwa "Kebijakan Politik" bisa di lakukan jika pemimpin mau.
*
Wacana penghapusan tenaga honorer tentu menjadi sebuah dilema. Tak terhitung berapa banyaknya pegawai honorer yang ada di pemerintahan. Di satu sisi penghapusan ini merupakan bagian dari penghematan biaya namun disatu sisi banyak nasib yang dipertaruhkan. Sehingga bentuk kebijakan harus disiapkan untuk menyiasati permasalahaan ini agar terjadi kesimbangan dan distribusi yang sesuai (sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H