Menariknya, tidak selamanya mereka menjadi pegawai honorer. Ketika koleganya di non-jobkan atau pergantian kepemimpinan, mereka otomatis dihentikan atau berhenti dengan sendirinya. Sebuah konsekuensi politik dinasti.Â
Keistimewaannya tentu saja besar. Mereka dapat leluasa bekerja atau mengatur lantaran memiliki power dalam lingkungan tempat bekerja.Â
Ada sisi di mana mereka menjadi sangat superior bahkan menjadi anak emas. Kalau sudah begini, maka sentimen dan konflik sering terjadi.
Namun satu yang tidak bisa dihindari walau karena relasi dan memiliki power tetapi beban kerja yang diterima jauh lebih berat ketimbang PNS. Ini diakui beberapa teman yang sudah tak lagi menjadi pegawai honorer.
Misalnya pengakuan salah satu teman saya, Mai. Ia merupakan ponakan salah satu Wakil Bupati yang bercerita bahwa saat menjadi pegawai honorer, mereka bak "Babu" yang kerjaannya disuru-suru.
Dari buat kopi hingga pekerjaan berat semisal penyusunan Program Kerja. Kadis katanya, hanya tinggal memerintah. Sementara yang lain menerima bersihnya. Ketika dokumen jadi barulah giliran mereka melakukan lobi-lobi.
Gaji yang tak seberapa dengan beban kerja dengan beban kerja yang tinggi merupakan suatu konsekuensi. Terkadang penundaan gaji adalah hal lumrah yang diterima. Dua hingga tiga bulan bahkan lebih.
Untuk satu ini sering terjadi. Misalnya salah satu teman saya yang juga kompasianer. Ia merupakan honorer di salah satu sekolah dasar yang mengungkapkan bahwa Ia mendapat gaji per tiga bulan. Itupun jumlahnya tak seberapa hanya sejuta lebih. Sehingga jika belum menerima gaji, Ia harus mengeluarkan biaya pribadi.
Banyak pegawai honorer baik karena relasi atau tidak, Â punya harapan atas keberlangsungan karir mereka. Salah satunya diangkat menjadi PNS, PPK atau menjadi prioritas setiap kali ada tes CPNS.Â
Harapan ini digaungkan begitu keras agar kepala daerah mau memprioritaskan mereka lewat keputusan "Politis" atau kebijakan. Kondisi ini sering bertalian erat dengan janji politik yang dibuat saat kampanye.
Temuan saya banyak terjadi di dunia pendidikan. Guru honorer merupakan aktor yang paling terdepan berhadapan dengan eskalasi politik. Banyak dari mereka menggantungkan nasib pada keputusan kepala daerah untuk diangkat menjadi PNS.Â