Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Banjir, Siapa yang Harus Disalahkan?

17 September 2021   03:03 Diperbarui: 17 September 2021   03:19 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di atas bukit sebuah kelurahan di Kota Ternate, saya terjebak hujan deras. Niat hati menikmati indahnya gugusan pulau  Tidore, Maitara, Mare, Moti dan Makian tak kesampaian. Baru sebentar menikmati, kumpulan awan hitam membawa serta hujan datang menyapa.

Hujan menguyur, membawa serta udara dingin yang menusuk kulit. tangan seakan menjadi benteng ketika Jaket yang membalut tubuh rapuh terhantam udara. 

Dibalik lipatan tangan yang mendekap hangat ke badan, mata saya tertuju pada aliran deras air yang berselancar bebas ke dataran rendah. Membawa serta kerikil, tanah dan sampah yang tak terhitung jumlahnya. Erosi yang dasyat.

"Apeslah sudah rumah warga di bawah sana " pikirku.

Material tersebut berasal dari sisa-sisa pembangunan rumah warga. Atau material pembangunan yang sementara dikerjakan. 

Di bukit ini, belum genap lima tahun, pembangunan pemukiman begitu masif. Mulai dari rumah pribadi hingga perumahan. 

Sedari awal, peralihan lahan sudah menampakan wujudnya. Lahan-lahan ini dulunya adalah kebun warga lokal. Pala dan cengkih adalah dua komoditi utama. Namun seiring masifnya pembangunan, utamanya Reklamasi di sepanjang Garis pantai mulai dari Utara hingga Selatan, tanah di sini di keruk para pengusaha.

Warga kemudian satu persatu menjual lahan mereka untuk dikeruk dengam sistem kontrak. Setelah pengerukan selesai. Lahan tersebut kemudian dijual untuk pembangunan. Harganya menyentuh angka 100 jutaan. Sebuah kategori  murah di kota Ternate.

Di Kota ini pembangunan berherak vertikal. Keatas. Padahal rencana pemerintah daerah ialah pembangunan horizontal yakni mengisi kekosongan di wilayah selatan atau Pulau ; kecamatan. 

Sebuah kebijakan yang juga mengandung makna penyamarataan. Di mana Utara dan Pulau sangat timpang pembangunan. Bermukimnya suku asli Ternate.

Alhasil, pembangunan vertikal ini menyebabkan banyak efek. Lahan kebun dijual, pohon di tebanb, di gusur, di keruk. Sudah begitu, topografi yang berbukit dan banyak terdapat sungai mati (kali mati) mengiasi pulau ini tak menyrutkan niat pembangunan. Bantaran kali mati ini kemudian berdiri banyak bangunan. 

*

Tiga jam lebih menunggu hujan benar-benar redah. Dalam perjalanan pulang, apa yang menjadi pemikiran saya tentang material yang terbawa tadi menjadi kenyataan. Di dataran menengah, material tadi menghantam rumah warga. Merengsek masuk hingga kedalam.

Di dalam perjalan pulang pun, beberapa kali mampir melihat longsor yang membawa serta separuh rumah warga yang berdiri tepat disamping kali mati. Hujan deras tadi menyebabkan volume air menjadi besar dan menjebol talud-talud. 

Sementara di dataran rendah. Mulai dari Selatan kota, tengah hingga utara, banjir mencapai lutut orang dewasa. Sebuah fenomena yang tak pernah di rasakan warga kota selama ini. 

Yap. Banjir baru menjadi sebuah permasalahan karena selama ini tak pernah terjadi. Warga kemudian meluapkan kemarahan serta kritik bertubi-tubi ke Pemda. Utamanya kepada kepala daerah. 

Medos dibanjiri hujatan. Video-video tersebar disertai kritik pedas yang tertuju pada pemda. Tentang ketidakbecusan menangani drainase atau sampah yang mengendap dan menyebabkan terjadinya banjir. 

Dua keadaan ini sering menjadi senjata warga setiap kali datang hujan. Drainase dianggap tidak berfungsi dengan benar. Banyak tanah dan sampah yang membuat mampet.

Sistem drainses yang mengarah langsung ke laut tak berjalan sesuai keinginan. Meluap sebelum ke tujuan adalah pemandangan biasa.  Pemda sendiri belum memberikan tanggapan sementara warga terua menyerang.

Lantas dari fenomena ini siapa yang harus disalahkan?

Salah satu permasalahan mampetnya drainase adalah endapan material baik tanah, pasir hingga tanah. Dan, permasalahan sampah menjadi paling utama yang menjadi sorotan saya. Terutama di Kota ini, terlepas dari banyaknya permasalaham yang sama di kota lain.

Kebiasaan membuang sampah tidak pada tempatnya masih menjadi sebuah permasalahan serius. Hal ini tercermin dari banyaknya sampah yang berserakan baik di tempat sampah, jalan, sungai mati hingga ke laut.

Dua tempat utama yakni laut dan sungai mati seakan menjadi tempat pembuanhan akhir dari setiap sampah utamanya sampah rumah tangga. Walaupun sudah ada larangan tegas tetapi tidak semerta-merta meningkatkan kesadaean membuang sampah.

Kategori sampah didominasi sampah plastik. Di laut dan di kali mati dengan sangat mudah menemukan jenis sampah ini. Berapa kalipun gerakan membersihkan pantai dan bataran sungai, tak jua membangun kesadaran, sebab dua atau tiga hari kemudian sudah nampak lagi.

Sementara disisi lain, baik regulasi dan penanganan seakan tak menjadi jawaban. Belum ada skema tepat tentang bagaimana seharusnya sampah diperlakukan. Atau bagaimana edukasi dijalankan.

Penanganan satu-satunya hanya angkut dan buang. Sementara edukasi dan membangun kesadaram begitu sangat minim.

Selain itu, banyaknya pembukaan lahan secara vertikal tak juga diperhatikan. Banyak bangunan rumah tak memiliki ijin membangun. Sebuah keharusan yang seharusnya menjadi perhatian. 

"Pemerintah seakan tak punya rumusan akurat menangani sampah, tata kota dan drainase sementara warga selalu menuntut keadilan dari permasalahan ini. Tanpa pikir, ada bagian yang secara tidak langsung menjadi sumbangsi pada permasalahan tersebut,"

Baik pemerintah daerah hingga warga harusnya sama-sama menyadari betapa sebuah tindakan dapat merugikan banyak orang. Pemerimtah harusnya tegas mengatasi akar permasalahan hingga terjadinya banjir. Kebijakan harus diikuti oleh ketegasan. 

Sementara warga tak melulu menyalahkan pemerintah dan membenarkan sikap kritis pada pemikirannya. Seakan-akan membenarkan semua pikirannya sedangkan mengabaikan fakta bahwa tindakan membuang satu sampah plastik juga ikut andil menciptakan bencana. ( Mari berbenah. Sukur dofu-dofu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun