Alhasil, pembangunan vertikal ini menyebabkan banyak efek. Lahan kebun dijual, pohon di tebanb, di gusur, di keruk. Sudah begitu, topografi yang berbukit dan banyak terdapat sungai mati (kali mati) mengiasi pulau ini tak menyrutkan niat pembangunan. Bantaran kali mati ini kemudian berdiri banyak bangunan.Â
*
Tiga jam lebih menunggu hujan benar-benar redah. Dalam perjalanan pulang, apa yang menjadi pemikiran saya tentang material yang terbawa tadi menjadi kenyataan. Di dataran menengah, material tadi menghantam rumah warga. Merengsek masuk hingga kedalam.
Di dalam perjalan pulang pun, beberapa kali mampir melihat longsor yang membawa serta separuh rumah warga yang berdiri tepat disamping kali mati. Hujan deras tadi menyebabkan volume air menjadi besar dan menjebol talud-talud.Â
Sementara di dataran rendah. Mulai dari Selatan kota, tengah hingga utara, banjir mencapai lutut orang dewasa. Sebuah fenomena yang tak pernah di rasakan warga kota selama ini.Â
Yap. Banjir baru menjadi sebuah permasalahan karena selama ini tak pernah terjadi. Warga kemudian meluapkan kemarahan serta kritik bertubi-tubi ke Pemda. Utamanya kepada kepala daerah.Â
Medos dibanjiri hujatan. Video-video tersebar disertai kritik pedas yang tertuju pada pemda. Tentang ketidakbecusan menangani drainase atau sampah yang mengendap dan menyebabkan terjadinya banjir.Â
Dua keadaan ini sering menjadi senjata warga setiap kali datang hujan. Drainase dianggap tidak berfungsi dengan benar. Banyak tanah dan sampah yang membuat mampet.
Sistem drainses yang mengarah langsung ke laut tak berjalan sesuai keinginan. Meluap sebelum ke tujuan adalah pemandangan biasa. Â Pemda sendiri belum memberikan tanggapan sementara warga terua menyerang.
Lantas dari fenomena ini siapa yang harus disalahkan?
Salah satu permasalahan mampetnya drainase adalah endapan material baik tanah, pasir hingga tanah. Dan, permasalahan sampah menjadi paling utama yang menjadi sorotan saya. Terutama di Kota ini, terlepas dari banyaknya permasalaham yang sama di kota lain.