Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Baliho Itu Strategi Politik Offline

16 Agustus 2021   10:57 Diperbarui: 19 Agustus 2021   10:17 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Kompas.Id.)

Momentum politik; pilpres memang masih beberapa tahun lagi, tetapi warna dan dinamika perhelatan lima tahun tersebut mulai nampak ke permukaan. 

Warna dan dinamika tersebut mulai nampak ketika berbagai rilis tentang survei elektabilitas menyeruak. Baik oleh lembaga survei hingga media nasional. Macam-macam caranya, mulai dari elektabilitas individu, hingga paket serta partai.

Kondisi ini menandai awal dari pertarungan besar bagi elemen dalam sistem demokrasi. Dari individu, partai, penyelenggara hingga masyarakat.

Hasil survei elektabilitas ini kemudian menjadi "data" bagi pihak yang berkepentingan. Tokoh-tokoh yang memiliki elektabilitas tinggi bisa digunakan sebagai data dalam pengambilan keputusan, mempersiapkan diri, hingga membranding diri.

Sementara bagi partai, data ini dapat memberikan gambaran tentang strategi dan pergerakan konsoludasi yang akan dipakai. Memperhitungkan segala faktor mulai dari kepemilikam suara diparlemen hingga koalisi.

Pun dengan tokoh dengan elektabilitas rendah, yang perlu melakukan kerja keras dalam mendongkrak elektabilitas, membangun citra diri.

Berbagai strategi akan terus dilakukan salah satunya yang mendapat perhatian belakangan ini ialah baliho. Di mana banyak baliho para politisi nasional bermunculan di berbagai lokasi, memenuhi setiap sudut kantor partai hingga ranting. Dari kota hingga menerobos ke pedesaan.

Kehadiran baliho para politisi ini kemudian banyak di kritisi lantaran hadir di tengah kondisi pandemi yang belum terselesaikan. Ada sisi moral yang diabaikan karena ambisi politik yang menggebu.

Tanpa mengabaikan fakta tersebut, kehadiran baliho adalah upaya dari cara branding diri, perkenalan, sekaligus penegasan "siap bertarung". Konklusi dari ini adalah meraup basis masa rill hingga pemetaan politik tingkat partai dalam deal-deal politik.

Baliho adalah salah satu alat peraga politik yang sah dan masih terus digunakan banyak pihak. Tidak hanya politikus besar saja, atau hanya dalam kontestasi pilpres.

Tapi, di tingkat caleg, partai, kepemudaan, organisasi sosial budaya keagamaan, Mahasiswa hingga pertarungan di tingkat desa pun menggunakan alat satu ini.

Dari kampanye politik, lingkungan, sosial, keagamaan, kesehatan dll. Bermacan-macam makna dan tujuan terkandung di dalamnya. Sesuai dengan maksud dan tujuan.

Lantas kenapa harus baliho yang memiliki cost sangat mahal, padahal perkembangan teknologi sudah berkembang. Kenapa tidak menggunakan media sosial dalam melakukan kampanye?

Sebab menurut saya, baliho adalah strategi politik offline, sementara media sosial adalah startegi online. Dan, strategi offline masih dapat diunggulkan.

Sebelum itu, mari kita tengok terlebih dahulu seberapa besar penggunaan media sosial (Facebook, Instagram, Twiteer) oleh beberapa politisi dan pendekatan dalam setiap postingan.

Ilustrasi. (Kompas.Id.)
Ilustrasi. (Kompas.Id.)

Dari data We Are Sosial, pengguna sosial media Platrom di Indonesia yakni Facebook (130 Juta dengan penggunaan 82%) Instagam (63 Juta jiwa dengan penggunaan 79%), dan Twitter 19.5 juta (kominfo) dengan penggunaan 56%)

Sebagai gambaran, saya hanya akan mengambil beberapa publik figur. Pembatasan ini murni keterwakilan, bukan penegasan atau memberikan dukungan pada sosok tertentu.

Pertama, Anies Baswedan memiliki followers di Facebook (1.8 juta) Instagram (5.1 juta), Twitter (4.2 juta). Mayoritas postingan Anies Baswedan menampilkan kerja dalam memimpin Jakarta.

Dari postingan ini saya menangkap perhatian penuh dari Anies tentang vaksinisasi yang terus di dorong pada warga Jakarta. 

Berikutnya, Puan Maharani memiliki followers di Facebook (31 ribu) Instagram (525 ribu), Twitter (1.924 ribu).

Menariknya Ketua DPR RI fokus pada platrom Instagram dan Twitter ketimbang Facebook di mana banyak postingan menyasar kaum muda dan kerja-kerja sebagai Ketua DPR RI.

Ganjar Pranowo memiliki followers di Facebook (1.3 juta) Instagram (3.7), dan Twitter (2 juta). Postingan Ganjar memperlihatkan sisi humanis sebagai pemimpin yang menurut hemat saya memposisikan diri sejajar dengan rakyat bawah.

Agus Harimurti Yudoyono memiliki followers di Facebook (519 ribu) Instagram (3.2 Juta), Twitter (509 ribu). Dalam setiap postingannya menurut hemat saya menunjukan sikap kritis sebagai oposisi pemerintah. Selain itu, masih dalam seputaran Kerja Partai. 

Di atas hanyalah gambaran beberapa politisi nasional dalam menggunakan platrom media sosial yang menurut hemat saya adalah bagian dari strategi politik online. Setiap postingan belum dikupas secara mendalam karena keterbatasan ruang. Mungkin dibahas pada lain kesempatan.

Satu yang menjadi perhatian penulis ialah peta basis di mana ada sedikit peralihan dari penggunaan media sosial. Di mana Instagram ramai diserbu para politisi. Penggunaan yang cukup besar ketimbang Twitter juga menjadi salah satu alasan, selain dari mudahnya melakukan postingan di Facebook.

Apapun itu, bagi saya media sosial sebagai keterwailan strategi politik belum dapat dijadikan rujukan kuatnya elektabilitas politik seseorang. Tidak selinear dengan jumlah followers. Sebab, hemat saya, hanya ada berapa persen saja yang benar-benar menjadi basis rill dari seseorang.

Stategi politik oniline ini masih memiliki keterbatasan. Dan dibutuhkan kerja-kerja politik lain yang lebih dalam dan lugas. Salah satunya baliho. kenapa? 

pertama. Basis masa mengambang dapat diperoleh karena dapat menjangkau hingga ke pelosok desa. 

Ada dua tipe basis menurut hemat saya, yakni Basis rill biasanya dapat dihitung secara persentase, basis mengambang alias abu-abu.

Basis rill merupakan basis yang tak akan lari. Sudah kuat dan tak perlu lagi diutak-atik sementara basis mengambang, inilah yang diperebutkan. 

Kekuasaan partai di suatu daerah biasanya representasi partai pemenang pilkada maupun banyaknya kursi di parlemen tidak dapat dijadikan patokan daerah tersebut sebagais basis riil.

Sehingga, upaya pengenalan yang humbble, merepresentasikan rakyat dan gambaran masa depan yang jelas tegas adalah unit-unit yang cukup berpengaruh.

Kedua, pembentukan mindset. Bagi saya sesuatu yang terus dilihat berulang-ulang kali dan di dukung oleh semakin gencarnya wacana tentang ini, maka memori akan sosok-sosok yang tampil terus terekam jelas. 

Ketiga, media Sosial memiliki keterbatasan jangkauan. Tidak semua . Walaupun terdapat pergeseran dalam penguatan penggunaan media sosial semisal ekspansi politisi dari Twitter ke Instagram. 

Hal ini didukung pula oleh keterjangkauan jaringan dan penggunaan medos yang belum merata. Tidak semua orang dapat menjangkau medos, dan tidak semua pelosok menikmati akses internte.

(Sukur Dofu-dofu).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun