Dan anehnya, konsepsi informasi yang diterima dari mulut ke mulut ini menjadi kepercayaan yang begitu kuat dan melekat di masyarakat. Padahal rilis resmi dari penyelidikan kepolisian belumlah keluat. Dan media belum satupun memiliki informasi dari semua kejelasan ini.
Tentu ada sebuah pelajaran dari kasus apakah pembunhan atau bunuh diri bahwa kekuatan mulut mengalahkan kecepatan penyelidikan. Setiap orang yang datang pada suatu kejadian akan menerima informasi dari mulut-mulut warga lainya yang kemudian akan dibawa kembali ke lingkungannya dan diceritakan dengan versi sama atau berbeda.
Naluri penyelidikan atas dasar informasi seperti ini tentu memberikan efek positif maupun negatif. Namun dalam kasus ini saya mendaratkan kesimpulan pada sisi negatif karena kepercayaan masyarakat yang mendikte sebuah kejadian atas dasar spekulasi.
Berbeda cetitanya ketika ini digunakan sebagai strategi seperti dalam konsep marketing. Di mana strategi dari mulut ke mulut pernah menjadi strategi pemasaran yang dipakai dan diperhitungkan.Â
Dibanyak lingkungan sosial kita saat ini, selain dominasi internet dengan determinan" Hoaksnya", kekuatan dari mulut masih terus mendominasi. Sebuah fakta yang kadang berujung negatif dan menyebabkan kegaduhan publik.
Jika sudah begini maka sudah pasti ada minset yang tercipta. Sungguh samgat disayangkan. Padahal sebuah kebenaran butuh penyelidikan sesuai prosedur bukan lewat mulut atas dasar informasi tal linear.
Maka sebagai kesimpulan, dalam contoh kasus diatas, atau pada contoh kasus lain yang terjadi di dimensi kehidupan, kebenaran butuh wadah penyelidikan. Kita perlu sedikit bersabar untuk menemukan fakta atas sebuah kejadian. Ini semua membutuhkan pengendalian diri yang matang. Dan membutuhkan sedikit bumbu apatis. Sukur dofu-dofu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H