"Pungli itu bermacam-macam dan dilakukan di mana saja. Bahkan di lembaga pendidikan sekalipun "
Siang itu Indri nampak murung. Ia ingin mengatakan sesuatu namun takut diungkapkan. Baru sejam kemudian, Ia berani bersuara dengan nada suara yang pelan," Kak, Besok mau ambil Surat keterangan Lulus (SKL),"Â
Mendengar itu, saya langsung sadar. Benar juga anak ini sudah harus masuk tahap pendidikan SMA dan belum mengambil SKLnya.Â
"Jam berapa," tanyaku.Â
"Jam sembilan. Tinggal adek sendiri yang belum ambil," Jawabnya. Sayapun mengiyakan untuk menemaninya esok hari.
Namun belum lagi saya beranjak, Ia bilang " Tapi Kak, harus bayar empat ratus ribu baru bisa ambil SKL,"Â
Saya terperangah tak percaya apa yang barusan Ia utarakan. Emosi saya memuncak, suara saya agak sedikit naik. "Itu duit apa. Masa ambil ijazah dan skl saja bayar segitu banyak," geramku.
"Tidak tau kak. Menurut teman katanya uang partisipasi," jawabnya. "Partisipasi buat apa," tanyaku.
Ia hanya diam dan saya maklumi memang anak yang baru lulus jenjang pendidikan menengah pertama ini tak paham. Apa yang didengarnya itulah yang dipercayai tanpa melakukan analisis ini itu.
Saya masih geram dan menggangap fulus segitu banyak tak masuk logika. Dan kesimpulan yang saya buat ialah partisipasi ini masuk dalam pungli. Karena ada penekanan, dan jumlah yang ditetapkan.
Tanpa habis akal, saya memutuskan bertanya ke beberapa pihak. Semua saya hubungi, wartawan, dinas terkait dan membuka dialog di ruang Chat.Â
Pertanyaan saya sederhana. Apakah mengambil ijazah atau skl itu ada biayanya?. Dan rata-rata menjawab "tidak" karena hal tersebut masuk kategori pungutan liar.
Beberapa kawanpun  membantu melakukan konfirmasi ke dinas terkait dan tentu saja jawabanya tidak dan masuk pungli.
Esok harinya, saya ke sekolah menemani adik saya mengambil SKL dan segala bentuk adminstrasi yang harus diselesaikannya. Seperti ttd dan sidik jari.Â
Lama saya menunggu. Banyak orang tua juga nampak hadir dengan berbagai macam keperluan. Sekira dua jam saya menunggu sebelum adik saya memanggil dengan gestur harus membayar.
Saya kemudian masuk dan diarahkan ke ruang salah satu bagian penting di sekolah. Setelah duduk tanpa basa basi saya lemparkan rentetan pertanyaan. Dan utamanya adalah bagaimana dengan pungutan sebesar empat ratus ini.
Beliaupun menjawab bahwa jumlah sebesar itu merupakan hasil kesepakatan dewan guru dengan wali murid yang dilaksanakan beberapa waktu lalu.Â
Saya tak puas. Lalu bertanya lagi sejak kapan diadakan rapat sementara kami atau saya tak tau dan kenapa harus sebesar ini. Beliau kemudian menjelaskan panjang lebar seperti dana ini untuk pembangunan taman, gedung dll. Dan rapat itu dihadiri wali murid.
Walaupun pada kseimpulannya beliau menjelaskan tentang partisipasi. Artinya tidak mengikat. Mau diberikan atau diberikan tidak apa-apa pada penekanan bahasanya. Tentu tidak saya tangkap dengan ikhlas, sebab banyak kasus, siswa yang belum membayar dapat ditahan ijazahnya.
Perdebatan kami alot. Beberapa menit kami habiskan saling klarifikasi. Sebab banyak hal yang membuat saya tak habis pikir dan tak masuk logika.
Diakhir pertemuan saya berikan saran bahwa partisipasi adalah berapapun yang diberikan bukan ditentukan dan lagi, harus mengacu kepada ketentuan. Dan merujuk pada edaran.Â
Kejadian hari membuat saya mengeyuarakan unek-unek di beranda whatsAap. dan tanpa saya sadari banyak dari mereka yang akhirnya bernasib sama. Mengambil ijazah dan rapot harus bayar. Tak tanggung-tanggung nilainya ratusan ribu. Bukan hanya satu atau dua orang yang mengeluh melainkan lima sampai enam orang.
Tentu ini memberikan gambaran bahwa masih ada satu atau dua sekolah yang menerapkan praktek ini. Walau dari informasi sudah banyak sekolah yang tidak melakukannya.
Kejelasan tentang partisipasi ini kemudian membuat saya bertemu dengan salah satu guru yang mengungkapkan ketidaksetujuan ptaktek tetsebut. sebab menurutnya, partisipasi adalah kerelaan berapapun yang diberikan. Dan tidak dipatok besaran atau batasan.Â
*
Pendidikan merupakan garda terdepan kemajuan suatu bangsa. Di mana kualitas SDM merupakan salah satu cerminan dan ukuran yang sering digunakan dalam mengukur baik tidaknya pendidikan.Â
Pun sebaliknya, jika suatu negara dengan sistem pendidikan "bobrok" maka akan melahirkan kecenderungan ketidakmampuan bersaing. Baik dari skala kualitas SDM, taraf hidup, ekonomi, sosial dan lain-lain.
Pendidikan adalah aktor penting dari Frasa mencerdaskan kehidupan bangsa yang diamanatkan dalam UUD 1945 aline ke empat. Sehingga dalam mewujudkan itu semua, perlu sinergitas dan perbaikan dari semua lini yang disebut dengan sistem pendidikan.
Tentu sistem pendidikan tidak hanya kewajiban negara memfasilitasi menyediakan sarana prasana. Tetapi lebih dari itu, perlunya perbaikan, gebrakan dan inovasi dari hulu ke hilir.Â
Di hilir, segala mekanisme, tata cara, dan segala dimensi perbaikan terus dilakukan dan disempurnakan. Tetapi dihulu, masih banyak problem yang tidak terselesaikan. Sekalipun dihilir jelas-jelas sudah ditekankan. Salah satu problem utamanya adalah budaya pungutan liar yang masih saja "abadi" di kolom kurikulum.
Yap. Pungutan liar atau pungli adalah salah satu yang masih menjadi momok dari wajah pendidikan di Indonesia. Alih-alih terberantas pungli justru mengakar dan seringkali disebut sebagai "Budaya".
Pemberantasan pungli sudah sangat jelas tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2012 Â bahkan ini menjadi larangan paling keras terutama di sistem pendidikan bernama sekolah dibawah naungan Pemerintah (1).
Walaupun tidak semua pungutan itu masuk pungli karena sudah diatur jelas dalam Permendikkbud  tentang  penjelasan pungutan dan sumbangan dalam pasal 1 angka 2 dan pasal 1 angka 3. Namun bagi saya masih menjadi simalakama bagiamana menentukan mana pungli dan tidak. Sebab tidak semua walimurid memahami aturan tersebut.
Dikutip dari Ombdusman menurut sesuai Peraturan Mendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.  Bahwa komite sekolah tidak boleh melakukan pungutan tapi penekanan lebih kepada penggalangan dana (partisipasi) bukan yang bersifat memaksa, mengikat, ditentukan jumlah dan waktunya. (Ombudsman)
Yap narasi partisipasi inilah yang pada akhirnya menjadi dilema. Karena banyak di jumpai sifat paritisipasi yang justru mengikat dan dengan jumlah yang ditentukan. Â Artinya, keluar dari ketentutan dan peraturan.
Inilah yang menjadi dasar artikel ini ditulis. Dan lebih fokus pada makna partisipasi yang justru keluar dari koridor. Dan menurut saya sudah masuk ranah pungli dan praktek KKN.
Partisipasi seakan menjadi pintu masuk bagi sekolah melakukan pungutan apalagi dibangun lewat argumentasi yang menurut Johan (2017) dalam jurnal Integritas, Vol. 3 No. 2 Â ialah telah terjadi kesepakatan antara pihak penyelenggara Pendidikan dengan orangtua atau wali peserta didik.
Kesepakatan ini kuat. Dengan dalil pembangunan ini dan itu. Yang menurut hemat saya, seakan-akan menjadi wajib dan dibenarkan. Apalagi sifatnya mengikat dan dengan besaran yang ditentukan.
Pungutan liar dalam dunia pendidikan adalah bagian yang masih sulit diberantas. Banyak wali murid yang mengeluh setiap pengambilan rapot ataupun pengambilan ijazah. Ada harga yang harus dibayarkan.Â
Sementara disatu sisi ini menjadi semacam budaya di mana wali murid juga sering memberikan tanda terima kasih dengan rupa-rupa niat; pemulus, wajib, dll.
Menurut salah satu kompasianer, Bang Hilman Idrus, dalam obrolan via chat, perilaku ini Ia sebut sebagai "tradisi pelicin.".
Tradisi ini menurut hemat beliau bermula dari rasa terima kasih kelas dompet tebal kepada pendidik yang pada akhirnya mengakar dan mengikat kuat sebagai stimulus.
Bahkan menurutnya, kondisi seperti itu tidak hanya terjadi di sekolah, di dinas daerah dalam hal pengurusan pangkatpun tak sedikit yang memberikan fulus, di kampus, dan disegala unit birokrasi. Artinya dari top hingga down praktek tanda terima kasih ini mengakar dan menjadi kebiasaan yang "harus" dilakukan.
Bagi saya semua dilema ini adalah kasus yang benar-benar harus diselesaikan. Apalagi di masa pandemi ini, Â faktor pendapatan menjadi krusial. Tidak semua orang mampu membayar dengan harga yang sama sebab tidak semua memiliki pendapatan yang merata.
Olehnya itu, bagi saya ini menjadi tanggung Jawab semu pihak. Utamanya memangkas dan melawan tradisi mentalitas fulus yang merajalela terutama di sektor pendidikan yang sangat sulit diberantas. Perlu upaya gigi dengan mentalitas yang ditanamkan karena praktek-praktek tersebut tak ubanya melegalkan KKN. (Sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H