Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Pungli Bernada Partisipasi

6 Juli 2021   14:41 Diperbarui: 7 Juli 2021   06:03 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun tidak semua pungutan itu masuk pungli karena sudah diatur jelas dalam Permendikkbud  tentang  penjelasan pungutan dan sumbangan dalam pasal 1 angka 2 dan pasal 1 angka 3. Namun bagi saya masih menjadi simalakama bagiamana menentukan mana pungli dan tidak. Sebab tidak semua walimurid memahami aturan tersebut.

Dikutip dari Ombdusman menurut sesuai Peraturan Mendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.  Bahwa komite sekolah tidak boleh melakukan pungutan tapi penekanan lebih kepada penggalangan dana (partisipasi) bukan yang bersifat memaksa, mengikat, ditentukan jumlah dan waktunya. (Ombudsman)

Yap narasi partisipasi inilah yang pada akhirnya menjadi dilema. Karena banyak di jumpai sifat paritisipasi yang justru mengikat dan dengan jumlah yang ditentukan.  Artinya, keluar dari ketentutan dan peraturan.

Inilah yang menjadi dasar artikel ini ditulis. Dan lebih fokus pada makna partisipasi yang justru keluar dari koridor. Dan menurut saya sudah masuk ranah pungli dan praktek KKN.

Partisipasi seakan menjadi pintu masuk bagi sekolah melakukan pungutan apalagi dibangun lewat argumentasi yang menurut Johan (2017) dalam jurnal Integritas, Vol. 3 No. 2  ialah telah terjadi kesepakatan antara pihak penyelenggara Pendidikan dengan orangtua atau wali peserta didik.

Kesepakatan ini kuat. Dengan dalil pembangunan ini dan itu. Yang menurut hemat saya, seakan-akan menjadi wajib dan dibenarkan. Apalagi sifatnya mengikat dan dengan besaran yang ditentukan.

Pungutan liar dalam dunia pendidikan adalah bagian yang masih sulit diberantas. Banyak wali murid yang mengeluh setiap pengambilan rapot ataupun pengambilan ijazah. Ada harga yang harus dibayarkan. 

Sementara disatu sisi ini menjadi semacam budaya di mana wali murid juga sering memberikan tanda terima kasih dengan rupa-rupa niat; pemulus, wajib, dll.

Menurut salah satu kompasianer, Bang Hilman Idrus, dalam obrolan via chat, perilaku ini Ia sebut sebagai "tradisi pelicin.".

Tradisi ini menurut hemat beliau bermula dari rasa terima kasih kelas dompet tebal kepada pendidik yang pada akhirnya mengakar dan mengikat kuat sebagai stimulus.

Bahkan menurutnya, kondisi seperti itu tidak hanya terjadi di sekolah, di dinas daerah dalam hal pengurusan pangkatpun tak sedikit yang memberikan fulus, di kampus, dan disegala unit birokrasi. Artinya dari top hingga down praktek tanda terima kasih ini mengakar dan menjadi kebiasaan yang "harus" dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun