"Pulanglah wahai para penajajah"Â
Itu adalah satu dari kata-kata yang saya terima setelah kekalahan Belanda dan Portugal kemarin. Rentetan serangan kata rasis dan meme bahkan video ibarat rudal Hamas menyerang Israel ke beranda Facebook dan whatsAap.
Sebagai pendukung Tim Sepakbola Belanda yang dipanggil The Orange itu, saya legowo. Tak ada klarifikasi atau menyalahkan ini itu. Saya tak banal membela diri. Kalah tetap kalah.Â
Pengumuman keihlasan menerima kekalahan saya lemparkan di Facebook. Dan tak lupa menyolek beberapa rekan fans Portugal yang sama-sama angkat koper pulang kampung.Â
Alhasil, berjibun komentar yang isinya macam-macam. Seperti "negara penjajah pulang kampung, atau penjajah kok di fans bahkan ada serangan kata dua-duanya penjajah jadi pulang kampung satu kapal,"
Ya sebagai fans tetap legowo. Namun sungguh sangat lucu. Andaikan landasannya seperti itu sebab kita tak sadar jika sebagian negara Eropa itu adalah penjajah yang bahkan membunuh jutaan orang dalam tindak tanduk perang dunia I dan II yang tercatat dalam sejarah sebagai kejahatan perang. Kita sama-sama mendukung negara penjajah.
Tak ada yang salah. Toh luka dari sejarah terutama buat Indonesia mengekang sangat kuat. Apalagi negara yang erat dengan penjajahan di Indonesia seperti Belanda dan Portugal. Yang setiap perhelatan sepakbola selalu dikaitkan dengan nasionalisme.Â
Saya hanya cekikan membaca setiap komen dan ribuan postingan yang menyerang dan menyudutkan fans-fans sepakbola yang sudah tersingkir sembari menjagokan tim keseblasan yang mereka dukung.Â
Saya membayangkan jika sepakbola adalah arena  perang. Maka berdarah-darahlah itu lapangan. Tak ada negara sekutu yang bergabung melawan satu negara. Atau kubu satu dengan kubu lain berasaskan ideologi seperti fasis atau konunis atau kapitalis. Semua independen dengan kepentingannya masing-masing.
Namun itulah uniknya sepakbola. Ia tidak melihat latar belakang kejahatan apa yang dibawah kelapangan hijau. Atau ideologi apa yang dianu. Â Ia membawa kompetisi, persaingan, adu taktik dan gengsi negara. Prestasi.
Dari sepakbola banyak hal tercipta. Nasionalisme, kampanye, perlawanan, hingga hal-hal berbau pembaharuan global. Selain sisi ekonomi tentunya. Walau terkadang adapula hal-hal rasis masih sangat sulit dilawan.
***
Tadi pagi, setelah kekalahan Perancis, fansnya kemudian dibully habis-habisan. Padahal sehari sebelumnya, banyak fans sudah antusias melakukan pawai kemenangan.Â
Bullyannya pun lucu-lucu. Semisal ayam jantan masuk panci jadi opor, Ayam jantan jadi betina dll. Ini berlaku hingga perhelatan selesai. Bahkan menjadi catatan sejarah diperhelatan selanjutnya. Di mana kekalahan ini akan dibawa-bawa.
Ueforia sepakbola tak tertandingi di Maluku Utara. Mau itu piala dunia, piala Eropa, Copa Amerika, bahkan antar RT. Buly membuly menyertai aksi-aksi kocak para pendukung. Apalagi fans fanatik.Â
Di Timur, khususnya Maluku Utara, sepakbola itu sebelas duabelas dengan politik. Jika sudah masuk perhelatan sepakbola maka semua orang sibuk membahas sepakbola. Dari yang kecil sampai yang sudah uzur. Dari sudut rumah sampai sudut kafe. Di kota sampai pelosok desa.
Di Desa, setiap memasuki perhelatan, hal utama yang diburu adalah voucer siaran bola. kemudian jersey dan bendera. Untuk mendapatkanya mereka tak segan-segan ke kota atau pusat kota.
Nonton sepakbola tak seru jika tidak nobar. Maka di desa-desa, dipusatkan di satu titik. Biasanya di rumah kades atau di lapangan desa. Kalau sudah nobar begini,siap-siap auto dibuly bagi fans yang kalah. Apalagi yang bagi mereka yang taruhan.
Aneh-aneh taruhannya. Seperti membakar jersey, merobek, mengikrarkan kekalahan, bahkan pernah sampai dicebrukan ke air laut dengan melompat dari jembatan. Namun sebelum melompat harus dulu mengucapkan pengakuan kekalahan.
Sementara di Kota pun demikian tak jauh beda. Namun untuk nobar memiliki banyak alternatif. Terutama bagi fans-fans fanatik. Mereka akan berkumpul di satu tempat. Jika menang maka langkah selanjutnya adalah pawai keliling kota.
Yap pawai kemenangan itu suatu yang tak asing lagi. Sudah sering dilakukan. Contoh sederhana misalnya ketika euforia fans Belanda yang melakukan pawai kemenangan dan menjadi viral. Saking viralnya, fenomena itu diupload akun tim sepakbola belanda.
Pawai kemenangan juga tak main-main. Adapolanya. Seperti undangan pawai, titik kumpul dan rute pawai hingga penggunaan jersey.
Banyak kejadian yang terjadi. Sudah banyak menelan korban. Seperti jatuh, tabrakan hingga tawuran. Yap kadang tawuran terjadi ketika mereka berpapasan dengan tim yang barusan kalah.Â
Pun dengan tim kalah. Bagi banyak fans fanatik yang notabenenga berbasis di setiap kelurahan memalang jalan, membakar ban, dan siap adu jotoa jika ada  fans keseblasan yang melintasi kelurahan mereka.
Di masa pandemi ini, belum sekalipun terdengar ada adu jotos. Namun pawai kemenangan tetap jalan. Dan tentu saja mengabaikan apa yang disebut dengan protokoler kesehatan.
Itulah kelakuan sepakbola di sini. Walau terkesan negatif akan tetapi masih banyak unsur positif. Sebab tidak semua ikut-ikutan hal-hal semisal pawai kemenangan. Hanya mereka yang benar-benar fanatik.
Tidak semua orang sefanatik mereka yang fanatik. Mereka lebih memilih beradu argumen dan membuka tabir-tabir sejarah pertandingan.
Kekocakan analisis pun sering menjadi bahan sakit perut karena masing-masing mempertahankan argumen yang entah dari mana dasarnya. Walaupun sesekali memori atas catatan pertandingan dihadirkan.
Kata orang maluku utara ialah baku malawang atau berdebat. Kalau sudah begini sudah pasti tak ada yang mau kalah. Â Tidak semua pula memakai landasan ideologi atau nasionalisme. Berbeda jika Indonesia yang main, hampir rata-rata nasionalis mendukung timnas.
Yap itulah gambaran euforia singkat dari perhelatan sepakbola. Tentunya ini menjadi sebuah hiburan setelah carut marutnya kehiduoan perpolitikan negeri. Minimal masyarakat masih punya suguhan akal sehat. " sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H