"Jika mengingat masa lalu, saya menyesal. Pernah gila. Gila karena menjadi pemakai hingga berpetualang dengan gairah. Ada tiga hal yang saya sesali, rugi waktu, citra diri dan kehilangan daya pikir yang menjadi aset berharga saya," ungkapnya sembari menutup wajahnya menggunakan tangan.
Udara begitu menggigit. Jaket yang saya gunakan serasa menembus tulang belulang. Ketika angin berhembus, saya melipat tangan tanda kedinginan. Berbeda dengan seorang gadis cantik di depanku. Ia tetap tersenyum memekar. Semekar bulan yang menghiasi langit malam ini.Â
Sebut saja namanya Bunga, ia sudah menginjak usia 27 tahun bulan Maret kemarin.
Di balkon kosan berlantai dua, di sudut sebuah kampus ternama, kami bercerita. Setelah perkenalan singkat di jakarta sembilan bulan silam. Hubungan pertemanan kami tetap berlanjut setelah saling tukar kontak.
Baru pada malam ini, sekira pukul 00.21 WIT. Kami bertemu lagi, setelah membuat janji jauh sebelumnya. Terhitung dua bulan lamanya. Setelah masing-masing dari kami tidak terlalu sibuk.Â
Obrolan kami dimulai dengan ringan. Tentang kabar masing-masing hingga nostalgia hidup di Jakarta. Kemudian berlanjut pada kerasnya pilihan yang harus diambil selepas mengenyam dunia pendidikan.Â
Ia sebagai lulusan kampus di Jakarta juga harus menghadapi dilema dan beban yang dahsyat ketika ia kembali ke lingkungan sosialnya. Pertanyaan seputar "sudah kerja atau belum," telah menambah beban psikologi yang tak saya sadari belum tuntas Ia selesaikan.
Sementara dalam benaknya, ia ingin mandiri. Ia ingin membuktikan bahwa presepsi orang-orang padanya salah. Bahwa apapun pilihan kerjanya, adalah bagian dari pembuktian diri atas dosa-dosanya.
Selain itu, atas pilihan inipula, ia selalu terbentur dengan fatsum orang tua yang membatasi gerak-geriknya. Ketika Ia hendak begini, orangtuanya melarang dan mengarahkan harusnya begini.Â
Semua beban itu berdampak pada rasa frustasi yang sebentar lagi membuat saya tak berkata-kata. Tekanan psikologi yang ia rasakan ternyata berkesinambungan. Linear dengan jalan hidup yang telah ia lalui.
Obrolan kami begitu panjang. Banyak ide, solusi kami bicarakan. Kadang sepakat kadang butuh kejelasan mendalam. Terhitung dua jam lamanya.
Udara yang masih terus mengigit membuat saya menyerah. Jaket jins yang saya kenakan tak menjadi benteng kedinginan. Kami berdua memutuskan bergeser tempat duduk. Sedikit kedalam, ke lorong kosan.Â
Di sinilah dalam keheningan, setelah saya tanpa sengaja menyinggung kalimat "menjadi manusia harus gila. Gila mengambil keputusan baik karir maupun jodoh".
Seketika ia menyahut, "Bang sudah khatam saya menjadi orang gila. Saatnya saya menjadi normal."
Saya binggung namun penasaran. Penafsiranku mengenai "gila" sebenarnya memiliki akar positif. Gila dalam pandangan saya ialah berani mengambil risiko sesuai dengan visi yang hendak dicapai. Sedikit menjadi gila tak apa-apa.
Namun, bahasa yang ia keluarkan membuat saya penasaran. "Emang gila yang kamu maksud apa bunga," tanyaku.
Ia tak lantas menjawab. Ia diam seakan ingin mengambil keputusan antara menceritakan atau tidak. Sebuah dilema nampak diwajahnya, antara mempercayai saya atau tidak. Posisi duduknya tiba-tiba ia benarkan. Awalnya berhadapan kini bergeser sejajar dengan saya.
Diam, hening. Tak ada suara dalam lorong ini. Pandanganya kosong. Tanganya ia lipat sesekali ia remas kuat-kuat. Hingga ia berujar, "Saya tak sanggup bang mengingat masa lalu kegilaan saya".Â
Saya masih tetap diam. Memperhatikan kegelisaan yang hadir di wajahnya. Kami terdiam begitu lama hingga beberapa menit. Sayapun tak tahu berkata apa, hingga ia memberanikan diri bercerita.
"Jadi gini bang, mungkin kawan-kawan mahasiswa di Jakarta sudah banyak bercerita. atau bergosip. Apakah abang pernah dengar?" tanya bunga dengan nada serius.
"Gosip apa, Saya jarang bertemu mereka. Lagipula sayapun baru mengenal kamu sekali," jawabku.
ia menutup wajahnya menggunakan tangan lalu berujar, "Saya di Jakarta sangat gila bang. Gila dalam artian negatif. Saya pemakai bang."
"Ha, Serius?" tanyaku.
"Serius bang. Saya kalau ingat masa lalu ini saya stres. Ini saja saya gemetaran bang jika mengingat lagi masa kelam itu?" ujarnya.
"Maaf sebelumnya, jika tak kuat menceritakan jangan di ceritakan. Saya tetap memaklumi. Setiap manusia punya jalan hidup yang tak baik-baik saja," jawabku menguatkan.
"Tidak apa bang, akan saya ceritakan," ujarnya.
Ia pun bercerita.....
**
Bunga adalah gadis remaja yang menempuh pendidikan di Jakarta. Sebelum di Jakarta, ia sudah terlebih dulu berkuliah tiga tahun di salah satu kampus di Jawa Timur. Namun karena sesuatu dan lain hal, anak bungsu tiga bersaudara ini kemudian memutuskan pindah ke Jakarta dan melanjutkan pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta.
Selama proses perkuliahan, ia juga aktif mengikuti berbagai organisasi baik internal maupun external. Keaktifannya di organisasi membuat Ia mengenal banyak orang. Bahkan kekagumannya pada sosok-sosok tertentu membuat pergaulannya lebih luas.Â
Dari sinilah cikal bakal ia mengenal narkoba. Awalnya, cerita bunga, Ia diajak diskusi dengan beberapa sosok mahasiswa yang Ia kagumi. Intensitas diskusi itu terus dilakukan dengan orang yang sama. Namun yang tidak Ia ketahui, lingkungan yang bunga ikuti akan menyeretnya menyentuh barang haram tersebut.
"Suatu malam, sehabis diskusi, mereka pakai. Saya jadi penasaran. ditambah, banyaknya persoalan yang saya hadapi membuat tekad saya bulat untuk mencicipi. Sebenarnya sebagai pelarian Bang," jelasnya.
Ia tak menjelaskan apa maksud pelariannya tersebut. Perdana dipakai, ia langsung dicekoki dosis yang tinggi. Seketika ia langsung fly, padahal menurutnya dosis miliknya harusnya rendah karena baru pertama kali mencicipi.
"Mereka kan pemakai lama. Otomatis dosisnya sudah gede. Tidak bisa lagi disamakan sama saya yang pemula. Namun ketika dosisnya disamaratakan, saya langsung blang. Otak saya serasa mau pecah," kenangnya pertama kali ia merasakan sabu.
"Lah berarti mereka aktivis-aktivis itu pakai, barangnya gampang di dapat ya," tanyaku penasaran.
"Sangat gampang kalau di Jakarta. Gampang sekali malah. Jujur ya, justru setelah memakai itu kita jadi berstamina. Diskusi menjadi lancar. Segala sesuatu dianggap benar padahal sebenarnya salah," jelasnya.
Ia pun menjadi pemakai aktif. Bunga berujar jika Ia tak pakai ia merasa lemas. Kebingungan. Minder. Segala tingkah lakunya tak normal. Sehingga harus secepatnya ia cari dan pakai.
Satu yang ia ingat setelah mengonsumsi sabu, Pemikirannya menjadi bercabang. Seperti yang seharusnya ikut jalur kiri justru kanan dianggap pembenaran. Ia menganggap otaknya sudah benar-benar rusak.
Belum lagi, dalam pengakuannya, setelah mencoba sabu maka kategori rendah dibawahnya seperti rokok, miras, dan ganja terus dikonsumsi.
Saya terus mendengarkan ceritanya. Ia kadang sesekali diam sebelum melanjutkan secara runut. Bahkan sampai pada suatu titik Ia mengakui bahwa, perilakunya nyabu bahkan menyeretnya hingga ke seks bebas.Â
Baginya sangat nikmat jika sudah dalam keadaan fly lalu melakukan seks. Berbeda jika tidak dalam kondisi fly, "Nikmat sekali bang. Begitu bergairah," akunya.
Namun dalam kriteria seks, ia tak sembarangan dan cenderung pemilih.Â
Menjadi pemakai membuat segala tingkah lakunya berubah. Terutama dalam kondisi sosial lingkungan yang ia hadapi. Banyak dari teman-temanya menjauhi serta mengucilkannya.Â
Pandangan negatif dan cap "wanita murahan" melekat dengan erat. Bahkan banyak dari mereka utamanya para pria, memanfaatkan dirinya sebagai pemuas napsu dengan dalil pacaran.
Hingga sampai pada suatu titik ketika ia memakai untuk terakhir kali, ia sadar. Bahwa apa yang ia lakukan telah merusak segala-galanya pada diri. Waktu yang terbuang, citra diri dan otak yang mempengaruhi jalan pikirnya.
Ia pun berhenti. Menjauh seketika dari dunia hitam tersebut dan memilih menyelesaikan kuliah. Walau sangat berat dampak dari melepaskan seketika penggunaan sabu. Ia bahkan mengakui pada titik tertentu ia sakau dan hampir tewas.
Titik Balik Kehidupan
Waktu yang terbuang, citra diri, dan pemikiran yang terganggu membuatnya mengambil keputusan untuk berhenti.Â
Selama ini apa yang ia lakukan telah menyeretnya menghabiskan waktu percuma. Mengonsumsi sabu membuatnya melupakan banyak hal yang seharusnya ia kejar.
Pun dengan citra diri. Ia berada pada fase di mana setiap kehadirannya akan menjadi buah bibir. Wanita pemakai dan gampangam begitu melekat hingga membuatnya mengalami tekanan batin yang haibat.Â
Ini pula yang mendorongnya menemui psikiater. Untuk mengobati krisis kepercayaan diri yang sedang dihadapi. Ia mengakui cukup efektif. Terutama obat-obat yang ia konsumsi membuatnya sedikit tenang. Walau pada sisi psikologi ia belumlah tuntas.
Sementara kerugian terbesar dari dirinya dan ia anggap sebuah penyesalan besar ialah rusaknya otak yang berakibat pada pola pikirnya yang kacau.
"Satu-satunnya yang membuat saya menyesal seumur hidup ialah rusaknya pola pikir saya," jelasnya sembari memegang kepalanya.
Semua dilema itu ia hadapi hingga ia memutuskan menghadapi dan membayar kesalahanya.
Bunga tak lagi memikirkan citra buruk yang melekat padanya. Baginya saat ini adalah bagaimana membuktikan bahwa ia sudah kembali normal.Â
Tak main-main, ia memiliki tujuan membuktikan diri kepada semua orang yang menghakiminya bermacam-macam. Tekadnya ialah menjadi wanita sukses yang mandiri. Berlahan namun pasti ia merintis bisnis secara perlahan dengan target-target yang telah ia rencanakan.
Baginya, kegilaan masa remajanya memang sudah menyeret ia pada sisi negatif kehidupan. Namun jika berlarut-larut dalam penyelasalan adalah kondisi paling buruk dari seorang manusia.
Sehingga hampir sembilan bulan ini, ia benar-benar membuktikan bahwa ia mampu terlepas dari gengaman narkoba. Walau jalan yang ia hadapi sangat berliku terutama berkaitan dengan psiknya.
"Untuk berhenti kita harus yakin bang. Terus berani menjauhi lingkungan yang merusak itu serta dekatkan diri pada Tuhan," pesannya.
Ceritanya sebagai mantan pemakai berakhir ketika kumandan Adzan menggema. Kami berdua akhirnya memutuskan mengakhiri cerita hari ini dan membuat janji akan bertemu dilain kesempatan.
Secara pasti cerita yang ia bagikan membuat saya begitu takjub padanya. Bahkan ketika sampai saya memberikan apresiasi akan kisahnya sebagai bagian inspiratif karena mampu bangkit dan melawan berbagai stikma sosial yang melekat padanya.Â
Kebangkitannya membuat saya terus memberikan dorongan bahwa apa yang hendak ia capai harus terus di perjuangkan. Walau harus diraih dengan kesakitan sekalipun (sukur dofu-dodu)
***
Catatan:
*artikel ini sudah mendapat persetujuan dari narasumber untuk dipublish.
*Bunga adalah nama samaran
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H