Sekira sejam mereka berkutat dengan proses menghasilkan santan kelapa. Para ibu-ibu yang menunggu juga tak mau buru-buru dan setia menunggu.
Di sisi lain, setelah nasi menjadi setengah matang, warga yang mayoritas dari desa kemudian mengangkat lalu mengaduk dalam baskom. Nasi itu kemudian dicampur dengan sedikit kuning.Â
Memang di Ternate banyak tersedia rumah makan dengan menu nasi kuning. Tetapi ada perbedaan. Nasi kuning yang di buat khusus untuk dijual tidak terlalu mengandung rempah sementara nasi kuning untuk hajatan rasanya lebih tajam dan banyak rempah. Ada semacam ciri khas yang tidak bisa saya jelaskan.
Proses pembuatan nasi kuning ini sendiri ditangani langsung oleh warga yang datang dari desa. Hal ini dilakukan karena pengalaman yang mereka miliki.
Selain rangkaian proses ini, beberapa rangkaian yang berbalut budaya turut terlaksana. Saya memperhatikan dengan seksama bagaimana kondisi ini berjalan. Masyarakat yang berdomisili di kota kebanyakan belajar langsung pada setiap tahapan yang terlaksana.
Sementara warga desa yang datang dengan legowo menunjukan perlahan-lahan setiap proses kebudayaan yang dilaksanakan.
Perkembangan zaman dalam balutan arus globalisasi telah mendorong pakem kebudayaan yang notabenenye tradisional telah banyak ditinggalkan.Â
Budaya-budaya luar telah merengsek masuk dengan begitu kencang sementara budaya lokal atau tradisional tidak mampu bertransformasi. Kondisi ini juga didukung lewat cara pandang dan penerimaan yang terbuka oleh masyarakat maupun negara.
Memang tidak bisa dipungkiri, pertukaran budaya sangat masif terjadi namun dominasi dari pertukaran tersebut sangat nampak. Sehingga sangat aneh jika pakem kebudayaan nusantara yang menjadi ciri khas bagi bangsa-bangsa luar tak mampu dipertahankan.