Perjalanan demokrasi selalu melahirkan peristiwa-peristiwa besar dari lingkungan terkecil hingga terbesar. Sebab, semenjak menganut sistem ini, kita selalu disuguhkan proses jalannya demokrasi yang akrobatik.
Saya menyebutnya demikian karena ada begitu banyak aksi-aksi yang terjadi. Sebut saja yang sedang hangatnya sekarang, tentang kondisi yang menimpa Partai Demokrat.
Dilaksanakannya Kongres Luar Biasa (KLB) dengan terpilihnya Moeldoko sebagai Ketua Umum terlepas dari sah atau tidaknya kongres tersebut telah menegaskan bahwa di Partai Demokrat saat ini sudah ada dua kepempiminan atau dualisme.
Jika sudah begini, maka siapa yang kuat bermanuver akan menjadi yang terdepan menahkodai Partai. Apalagi jika Kemenkumham melegalisasi hasil KLB tersebut. Atau bisa dikata ada intervensi dari kekuasaan. Kondisi ini ujung-ujungnya akan berakhir di pengadilan.
Kondisi yang menimpah Partai Demokrat bukanlah hal baru di Indonesia. Sudah banyak partai yang bernasib sama. Ada yang terselamatkan ada yang harus kehilangan tapuk kepemimpinan.
Kita sebut saja dari Partai Berkarya antara Kubu Tomy dan Kubu Muchdi. Selanjutnya Golkar dan PPP yang pecah kongsi karena dukungan politik pada Pilpres hingga berujung ke ISLA hingga Partai Hanura. dan ini terjadi hanya dalam waktu lima tahun belakangan. (1)
Bahkan jauh sebelum konflik diatas di tahun 1966 saja kita sudah mengalami dualisme kepemimpinan antara orde lama dan orde baru pada tahun 1966 atau antara Soekarno dam Soeharto (2)
Perpecahan yang melahirkan dualisme tersebut erat kaitannya dengan ranah kepentingan yang berawal dari kepemimpinan yang tidak mampu mengelolah konflik dalam sebuah komunitas.
Sehingga pada lingkungan ini, orang-orang berpengaruh akan saling bertarung agar bentuk kepentingannya dapat terealisasi. Pertarungan tersebut harus dilakukan dengan melahirkan konflik internal antara yang mempertahankan dan yang merebut.
Jika Konflik ini berhasil maka akan merembes ke konflik eksternal dan melibatkan berbagai macam kekuatan atau dalam istilahnya intervensi.
Kondisi-kondisi ini lumrah terjadi bahkan bukan hanya terjadi di ranah partai politik akan tetapi sudah mengakar kemana-mana. Dari organisasi kepemudaan hingga unit terkecil dari sebuah komunitas. Bahkan bukan hanya dualisme tetapi ada tigaisme dan seterusnya.
Kondisi ini mengingatkan saya pada proses berorganisasi semasa duduk dibangku perguruan tinggi dulu. Di mana dinamika dualisme kepemimpinan sempat saya rasakan hingga melahirkam tensi yang luar biasa.
Ada konflik yang menyertai dinamika yang bagi kami saat itu adalah bagian dari proses berorganisasi.
Saya akan mengilutrasikan saja dengan kelompok A dan kelompok B. Dua kelompok mahasiswa yang mempunyai basis pemilih yang kuat.
Kelompok A adalah pemenang hasil aklamasi pemilihan umum mahasiswa yang dilakukan secara demokratis. Dan kelompok B adalah kelompok dari hasil komposisi afiliasi yang masuk dalam sistem kepengurusan sebagai deal-deal politik.
Pada proses awal pemilihan, antara kelompok A dan Kelompok B memiliki kandidat masing-masing. Namun semua berubah ketika pada suatu malam, terjadi pertemuam dan melahirkan kesepakatan.
Kelompok A akan menjadi Ketua umum dan Kelompok B akan mengambil Jatah Wakil dan Sekertaris Umum serta beberapa jatah Kepala bidang (Kabid).
Dari hasil penyatuan karena deal politik ini, akhirnya terjadilah aklamasi. Sebab tak ada lagi figur yang bertarung.
Kepengurusan berjalan normal. Hingga pada suatu waktu, seingat saya empat bulan setelah pelantikan, terjadi konflik internal. Ada kubu-kubu dalam kepengurusan dan perbedaan kepentingan dalam mengusung calon yang akan bertarung dalam senat Universitas.
Jadilah, konflik dirancang oleh kelompok B yang merasa ada garis kepentingan yang keluar dari kesepakatan awal.
Isu dimainkan bahwa kepemimpinan Ketum tidak stabil dan menyimpan dari ADRT. Korupsi merajalela dan Mosi ketidakpercayaan disebar. Dan penggalangan kekuatan utamanya ketua-ketua setingkat himpunan digalang. Pun demikian dengan tokoh-tokoh utama pendukung Kelompok A yang ramai-ramai bergabung dalam gerakan ini.
Terbentuklah sebuah kelompok perlawanan dari berbagai elemen kelompok. Aksi demonstrasi mewarnai proses ini hingga satu bulan lamanya.
Pihak Fakultas yang memiliki legitimasi dalam lingkungan Fakultas akhirnya ambil ahli setelah terjadi beberapa kali konflik yang melahirkan korban luka dan aktivitas perkuliahan tergangu alias tidak ada mata pelajaran sama sekali.
Rekonsiliasi diadakan namun gagal. Kelompok B yang begitu kuat akhirnya mendesak Dekan menandatangani SK pemecatan dan pengangkatan Pejabat Sementara.
Blunder terjadi, bukannya menyelesaikan masalah, justru memperkeruh keadaan. Konflik semakin memanas bahkan sampai ke tingkat Universitas. Di mana delegasi-delegasi mahasiswa dalam pemiliham senat dipertanyakan karena terdapat dua rekomendasi kandidat.
Konflik ini berakhir dengan kemenangan kelompok B karena daya dukung kelompok A semakin hari semakin berkurang. Tokoh-tokoh penting berangsur meningalkan si Ketua karena berbagai sebab.
Pjs dari kelompok B memimpin senat fakultas hingga masa kepemimpinan berakhir dengan berbagai kepentingan tercapai. Konflik benar-benar berakhir setelah diadakan pemilihan umum dan terpilih ketua baru.
Cerita singkat ini hanyalah gambaran bahwa kondisi dualisme adalah wujud yang tak terelakan dalam sebuah sistem demokrasi. Bahkan kondisi ini dianggap sebagai dinamika yang biasa. Di mana akan selalu ada kelompok yang menang dan kalah dalam sebuah sistem karena berbeda kepentingan dan tujuan.
Praktek dualisme adalah contoh nyata proses demokŕasi sudah dipelajari sedari awal. Atau sudah ditetapkan sejal masa berproses di kampus yang kemudian merembers ke luar.
Selain organisasi internal, saat ini juga banyak terjadi dualisme di luar ranah organisasi external kampus. Baik kepemudaan, kemahasiswaan hingga kekeluarhaan (OKK) di mana organisasi ini sudah memiliki akar sejarah yang panjang.
Bagi saya, dari apa yang saya alami, dualisme terjadi karena dalam sebuah sistem terdapat benturan kepentingan yang mandek dan tidak terealisasi. Kondisi ini erat kaitannya dengan kekuasaan. Menurut Irawan (2019), dualisme sendiri terjadi karena ketidakcocokan dalam suatu hubungan.
Ketidakcocokan itu dalam ranah organisasi berhubungan erat dengan representasi kepentingan yang tidak terealisasi atau mendapat hambatan yang pada akhirnya melahirkan konflik. terlepas dari kondisi internal dari sebuah kepemimpinan.
Kepentingan yang mendapat jalan terjal harus menemukan jalan agar terealisasi walaupun itu melanggar ketentuan dalam suatu organisasi. Apalagi dalam kepentingan tersebut mewakili kelompok-kelompok besar.
Pada prinsipnya, kondisi dualisme adalah hal yang lumrah dalam demokrasi. Sudah mengakar dari tingkat bawah hingga ringkat atas. Sebuah kondisi yang mewarnai proses demokrasi yang belia ini. (sukur dofu-dofu).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H