Kondisi ini mengingatkan saya pada proses berorganisasi semasa duduk dibangku perguruan tinggi dulu. Di mana dinamika dualisme kepemimpinan sempat saya rasakan hingga melahirkam tensi yang luar biasa.
Ada konflik yang menyertai dinamika yang bagi kami saat itu adalah bagian dari proses berorganisasi.
Saya akan mengilutrasikan saja dengan kelompok A dan kelompok B. Dua kelompok mahasiswa yang mempunyai basis pemilih yang kuat.
Kelompok A adalah pemenang hasil aklamasi pemilihan umum mahasiswa yang dilakukan secara demokratis. Dan kelompok B adalah kelompok dari hasil komposisi afiliasi yang masuk dalam sistem kepengurusan sebagai deal-deal politik.
Pada proses awal pemilihan, antara kelompok A dan Kelompok B memiliki kandidat masing-masing. Namun semua berubah ketika pada suatu malam, terjadi pertemuam dan melahirkan kesepakatan.
Kelompok A akan menjadi Ketua umum dan Kelompok B akan mengambil Jatah Wakil dan Sekertaris Umum serta beberapa jatah Kepala bidang (Kabid).
Dari hasil penyatuan karena deal politik ini, akhirnya terjadilah aklamasi. Sebab tak ada lagi figur yang bertarung.
Kepengurusan berjalan normal. Hingga pada suatu waktu, seingat saya empat bulan setelah pelantikan, terjadi konflik internal. Ada kubu-kubu dalam kepengurusan dan perbedaan kepentingan dalam mengusung calon yang akan bertarung dalam senat Universitas.
Jadilah, konflik dirancang oleh kelompok B yang merasa ada garis kepentingan yang keluar dari kesepakatan awal.
Isu dimainkan bahwa kepemimpinan Ketum tidak stabil dan menyimpan dari ADRT. Korupsi merajalela dan Mosi ketidakpercayaan disebar. Dan penggalangan kekuatan utamanya ketua-ketua setingkat himpunan digalang. Pun demikian dengan tokoh-tokoh utama pendukung Kelompok A yang ramai-ramai bergabung dalam gerakan ini.
Terbentuklah sebuah kelompok perlawanan dari berbagai elemen kelompok. Aksi demonstrasi mewarnai proses ini hingga satu bulan lamanya.