Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki dari Rahim Kopra

19 Februari 2021   07:30 Diperbarui: 19 Februari 2021   07:46 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pah, aku pulang. Menemanimu mengasapi Kopra. Istirahatlah sebentar, matamu sudah memerah karena kepungan asap. Kaki telanjangmu sudah direbut luka, keringatmu berkucur deras membasahi baju sobekmu.  Kau lelah,  kerut di wajahmu memberikan jawaban padaku. Istirahatlah sebentar Pah,"

Asap dapur sudah mengebul. Merengsek masuk ke kamar. Aroma pisang goreng buatan mama sudah tercium.  "Ah mama, sudah begitu lama aroma ini menghilang, sejak saban hari kau sajikan. Aku lupa, di kota terlalu banyak aroma penghapus kenangan"

Aku bangun, menuju dapur. Duduk di sudut meja yang tak sedikitpun berubah. Meraih segelas kopi  bersama pisang goreng dan kenari yang mama sajikan. Menyatu dalam mulut, berpesta kenikmatan.

Mama, ini benar-benar nikmat.

Asap dapur masih mengebul dari tungku gubuk sederhana. Mama sedang menanak nasi, menggoreng ikan dan mengulek sambal. Sedang aku, masih terlana oleh kenikmatan. Sebelum, sebuah pesan datang menampar.

Tadi pagi, saat ombak masih manja merayu pasir, dan embun masih erat dipelukan patera. di balik pintu kamar papa berpesan " bisakah, siang nanti kau susul papa ke kebun".

*

Siang menjelang, terik matahari sedang berlomba menerobos barisan pepohonan. Pala, cengkih dan kelapa terdepan menangadah. Mengambil makan dari fungsi alam.

Aku menyusuri jalan penuh ilalang. Menuju kamu dibalik rimbunya hutan. Bak kompas yang mengikat arah, aku sampai dengan sedikit pura-pura. Kuat.

Asap mengebul, batok-batok kelapa bekerja. Kaupun demikian. Mengulek kelapa dan sesekali menyiram api, menyisahkan asap agar tak membakar para-para.

Para-para yang sama, sejak pertama kali kau titipkan kelapa ke tanah dan kini telah menjulang tinggi ke angkasa.

Tak terhitung berapa jumlahnya; anak tangga yang kau buat, batang pohon yang kau panjat dan  butir buah yang terpetik. Semua menjadi rahasia tapak kaki yang tak punya kuasa berbagi.

Api menyala, angin biangnya. Kelapa hampir saja gosong dan tiang-tiang hampir terbakar. Sigapmu tak tertandingi. Lagi, dan lagi.

Pah..., istirahalah sebentar. Mataku tak kuasa  melihat kamu terjajah. Istirahatlah, biar aku yang menangadah. Akan ku padamkan api dan menjaga asap untukmu. Hingga kelapa matang dan rupiah tergengam.

Istirahatlah sebentar, duduklah. Bersandarlah dan ceritakan padaku tentang kesalmu pada angin dan gerammu pada api.  Angin yang membawa api dan berhianat pada harap. dan, jangan ceritakan padaku tentang kelapa yang hendak kau tumbangkan diujung hasrat.

(Jumat, 19 Februari, disebuah gubuk mewah)

Ket;

Patera : daun

Para-para : tempat memasak kopra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun