Pah, aku pulang. Menemanimu mengasapi Kopra. Istirahatlah sebentar, matamu sudah memerah karena kepungan asap. Kaki telanjangmu sudah direbut luka, keringatmu berkucur deras membasahi baju sobekmu. Â Kau lelah, Â kerut di wajahmu memberikan jawaban padaku. Istirahatlah sebentar Pah,"
Asap dapur sudah mengebul. Merengsek masuk ke kamar. Aroma pisang goreng buatan mama sudah tercium. Â "Ah mama, sudah begitu lama aroma ini menghilang, sejak saban hari kau sajikan. Aku lupa, di kota terlalu banyak aroma penghapus kenangan"
Aku bangun, menuju dapur. Duduk di sudut meja yang tak sedikitpun berubah. Meraih segelas kopi  bersama pisang goreng dan kenari yang mama sajikan. Menyatu dalam mulut, berpesta kenikmatan.
Mama, ini benar-benar nikmat.
Asap dapur masih mengebul dari tungku gubuk sederhana. Mama sedang menanak nasi, menggoreng ikan dan mengulek sambal. Sedang aku, masih terlana oleh kenikmatan. Sebelum, sebuah pesan datang menampar.
Tadi pagi, saat ombak masih manja merayu pasir, dan embun masih erat dipelukan patera. di balik pintu kamar papa berpesan " bisakah, siang nanti kau susul papa ke kebun".
*
Siang menjelang, terik matahari sedang berlomba menerobos barisan pepohonan. Pala, cengkih dan kelapa terdepan menangadah. Mengambil makan dari fungsi alam.
Aku menyusuri jalan penuh ilalang. Menuju kamu dibalik rimbunya hutan. Bak kompas yang mengikat arah, aku sampai dengan sedikit pura-pura. Kuat.
Asap mengebul, batok-batok kelapa bekerja. Kaupun demikian. Mengulek kelapa dan sesekali menyiram api, menyisahkan asap agar tak membakar para-para.