Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Berpikir Langit, Bersikap Bumi

19 Desember 2020   23:55 Diperbarui: 21 Desember 2020   12:02 1370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kursi pesawat 16 A yang saya tempati menuju Batam serasa empuk setengah jam pertama. Perjalanan ini menjadi rangkaian perjalanan yang melelahkan selama seminggu ini. 

Pesawat-pesawat yang saya tumpangi sudah membela kumpulan awan Sulawesi, Bali, Batam, Jakarta dan Aceh, kemudian Jakarta-Ternate dan Jakarta lagi. Saya lupa berapa seat kursi saya nikmati dengan segala kegalauan akan bahayanya Covid-19.

Di atas langit inipula saya memaknai banyak hal. Tentang orang-orang yang berjuang di atas sini dan di bawah sana. 

Di balik jendela pesawat, satu persatu saya alirkan pada pikir. Di atas sini, saya ingin cepat-cepat menginjak bumi. Pun demikian dengan mereka, para pramugari yang bekerja dengan risiko kehilangan nyawa, pilot yang bertanggung jawab mengendalikan pesawat dan menjamin penerbangan aman serta penumpang yang berharap kebaikan di ujung jalan.

Saya mendapatkan beberapa makna bahwa manusia berada di antara "Mereka yang berpikir langit namun bersikap langit, mereka yang berpikir bumi tapi bersikap langit dan mereka yang berpikir langit namun bersikap bumi".

Lantas saya berada di mana?

Pertanyaan ini terbentur di kepala, di antara celah awan dan mentari saya mengingat sosok-sosok yang begitu rendah hati di bawah sana. Mereka yang berpikir langit namun bersikap bumi. 

Si Penarik Becak
Pak Sulaiman, pria berumur sekira 60 tahunan memarkir becak di sebuah perempatan Gondomanan. Kota Jogjakarta. Saat itu, tanpa sengaja bertemu saat saya hendak menuju salah satu kedai kopi. 

Pertemuan ini mungkin sudah takdir, sepeda motor yang saya tumpangi sedang bermasalah. Di samping bengkel ini ia memarkir bersama beberapa kawan satu profesi.

Tanpa basa-basi, saya naik sebentar kemudian berpikir "ah mending naik becak saja, biar nanti si kawan menyusul jika sepeda motor yang di perbaiki sudah selesai".

Hasrat ini juga karena sudah lama tak menikmati moda transportasi yang mulai tersisi ini. Alhasil, kami berangkat ke tujuan dengan jarak tempuh sekira 15 menit.

Ketika hendak memberikan ongkos, ia menolak. Berapa kali pun saya bujuk ia terus menolak sambil tersenyum.

"Pak, kenapa tidak mau saya bayar pak," tanyaku
Sambil memarkir becaknya ia menjawab "Saya lagi bernazar mas" 

"Bernazar apa pak ?" tanyaku penasaran.
"Hari ini anak saya wisuda. Dan setiap kali anak saya wisuda saya bernazar bahwa seharian full akan saya gratiskan" Jawabannya membuat saya melongo.

"Allhamdullilah ini anak ketiga saya yang terakhir. Yang dua sudah lebih dulu wisuda," Tambah ia kemudian.
"Jadi selama satu hari ini semua gratis pak ?"
"Iya mas, dulu anak ke satu dan dua juga sama mas. Kalau wisuda saya nazar narik gratis" Jawabnya kemudian.

Saya masih menerka-nerka atas jawaban yang ia berikan. Seorang tukang becak, lusuh, dengan raut wajah yang nampak lelah ini bisa sehebat ini?

Pak Sulaiman kemudian sedikit berbagi cerita bahwa selama ini hasil menarik becak, ia sisihkan untuk pendidikan ketiga anaknya. Satu persatu ia biayai secara perlahan-lahan hingga ketiganya meraih gelar sarjana.

Ia mengungkapkan tak punya jurus dan trik khusus atau manajemen layaknya perusahan-perusahaan besar. Ia hanya berpikir kedepan, bahwa anak-anaknya adalah aset berharga yang harus menerima pendidikan.

"Saya mas, yang penting anak-anak punya gelar. Soal makan bisa dapat kapan saja, sing penting bersukur dan sabar," Ungkapnya. Sayangnya kami tak mengobrol panjang lebar. Pak Sulaiman harus pamit dan kembali ke tempat mangkal.

Ingatan tentang pak Sulaiman begitu kuat, walau di dalam kabin pesawat sedang turbelensi. Pramugari pun sudah mengingatkan bahwa kami, penumpang belum boleh ke kamar kecil dan wajib memakai sabuk pengaman karena cuaca sedang buruk.

Kegigihannya menyisakan tanya, bagaimana seorang penarik becak mampu menyekolahkan tiga anaknya hingga selesai. Bagaimana manajemen yang ia pakai hingga begitu hebatnya ia mencapai kesuksesan?

Pak Sulaiman adalah sosok yang berpikir langit dan bersikap bumi. Sosoknya yang sederhana dan menyimpan pemikiran bernilai. Pak Sulaiman mampu melihat kedepan, walau tapak kakinya penuh luka penuh nanah seperti kata Iwan Fals.

Ia telah memberikan contoh bahwa "pada garis inilah, orang-orang berjuang dengan kesabaran, ketekunan demi impian yang dicapai".

Ia mampu menerapkan manajemen sederhana dalam kehidupannya. Menyisihkan sedikit demi sedikit. Manajemen pengelolaan keuangan yang tak pernah diajarkan di kampus sana. Selain itu, ia jalani penuh sabar dan Ikhlas.

Musa si Tuna Netra Penombak Ikan.
Ia Musa, sekarang umurnya mungkin 40-an dan tak lagi menombak ikan. Ia sudah berada di Ternate, tinggal di salah satu sanak keluarganya di Keluarahan Santiong.

Dulu, pria ini sangat lihai menombak ikan saat air asing mulai pasang. Musa hanya berpijak di atas karang yang menonjol tanpa alas kaki. Di tangannya ia memegang tombak bermata tiga yang terbuat dari besi yang ia tajamkan di depannya.

Setiap jam dua belas siang, ia berdiri diam tak bergerak. Matanya lincah memerhatikan setiap gerakan ikan yang masuk dan terkurung di karang dangkal. 

Jika sudah melihat kerumunan ikan, tak segan-segan ia melemparkan tombak. Begitu seterusnya hingga air mulai bergerak naik. Hasil dari berburunya kadang ia jual kadang ia bawa pulang.

Musa adalah satu dari dua remaja yang mengalami kendala fisik yakni bisu dan tuli. Selain dia ada Arifin, si penghafal Qur'an (Di bahas pada artikel berikut). Mereka kerap di-bully oleh warga kampung. Terutama anak-anak seusia saya waktu itu. 

Namun satu yang saya pelajari terutama Musa ialah sosoknya begitu sederhana dan pandai bergaul. Berapapun olokan yang saya sendiri tak tau pasti ia paham atau tidak, ia tak peduli.

Kesehariannya membantu para warga. Mengambil kayu, menimba air, membersihkan mesjid, selokan dll. Bahkan acara di desa tetanggapun tak segan ia datangi. Membantu secara sukarela.

Di tengah keterbatasan itu, ia punya peduli besar pada pendidikan utamanya sekolah dan menimbah ilmu agama.

Setiap jam 10 pagi ia berkeliling desa, sembari memegang sebuah rotan. Anak-anak yang ketangkap bolos ia kejar hingga ke rumah. Tak segan-segan ia menjewer kami lalu membawa kami kembali ke sekolah. Sementara di malam hari ia berkeliling ke setiap pojok gang memastikan tak ada anak-anak yang keluar lebih dari pukul 10 malam.

Sementara di sore hari, ia lalukan hal yang sama. Mencari anak-anak yang tak mengaji. Anak-anak yang sudah melihat Musa kadang lari. 

Walaupun, cenderung terbilang "kasar"tapi apa yang dikukannya begitu sangat berharga. Para warga desa pun kadang marah namun tak sedikit yang bersyukur. Pedulinya yang besar pada kami waktu itu berbuah manis. Banyak dari kami tak jadi putus sekolah.

Apa yang dilakukan Musa adalah bentuk dari kepedulian. Kekurangannya tak lantas membuat ia berkecil hati. Ia mampu mendorong banyak hal pada kehidupannya. 

Bahkan hingga kini, ketika orang-orang dari kota yang tanpa sengaja bertemu dengan Musa kembali ke desa, mereka tak segan-segan menanyakan kabar Musa dan apa yang ia lakukan saat ini. 

Musa mungkin sosok yang punya keterbatasan. Namun sekali lagi ia adalah pribadi yang luar biasa. Orang-orang terkucil namun memberikan dampak luar biasa pada kondisi sosial. Kehadirannya memberikan warga tersendiri.
***
Di atas langit ini saya terus mengingat sosok-sosok sederhana yang jauh dari pujian namun hebat dalam tindakan. Mereka sangat sederhana bahkan jauh yang tersembunyi pada lembar kehidupan. Sosok mereka tak akan nampak ke permukaan.

Dari kisah mereka yang melekat di atas sini, saya merenung di mana pada kehidupan di bawah sana, banyak dari kita yang begitu gegabah"merasa besar" dari segalanya. Walau dibungkus kata "Kebijaksanaan" sekalipun.

Banyak dari kita merasa "langit" yang justru kadang merusak tatanan dan norma-norma sosial. Banyak dari kita merasa "langit" yang justru tak memberikan kontribusi apa-apa bahkan pada diri sendiri. Lantas masihkah kita bersikap langit? (Sukur dofu-dofu)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun