Ketika hendak memberikan ongkos, ia menolak. Berapa kali pun saya bujuk ia terus menolak sambil tersenyum.
"Pak, kenapa tidak mau saya bayar pak," tanyaku
Sambil memarkir becaknya ia menjawab "Saya lagi bernazar mas"Â
"Bernazar apa pak ?" tanyaku penasaran.
"Hari ini anak saya wisuda. Dan setiap kali anak saya wisuda saya bernazar bahwa seharian full akan saya gratiskan" Jawabannya membuat saya melongo.
"Allhamdullilah ini anak ketiga saya yang terakhir. Yang dua sudah lebih dulu wisuda," Tambah ia kemudian.
"Jadi selama satu hari ini semua gratis pak ?"
"Iya mas, dulu anak ke satu dan dua juga sama mas. Kalau wisuda saya nazar narik gratis" Jawabnya kemudian.
Saya masih menerka-nerka atas jawaban yang ia berikan. Seorang tukang becak, lusuh, dengan raut wajah yang nampak lelah ini bisa sehebat ini?
Pak Sulaiman kemudian sedikit berbagi cerita bahwa selama ini hasil menarik becak, ia sisihkan untuk pendidikan ketiga anaknya. Satu persatu ia biayai secara perlahan-lahan hingga ketiganya meraih gelar sarjana.
Ia mengungkapkan tak punya jurus dan trik khusus atau manajemen layaknya perusahan-perusahaan besar. Ia hanya berpikir kedepan, bahwa anak-anaknya adalah aset berharga yang harus menerima pendidikan.
"Saya mas, yang penting anak-anak punya gelar. Soal makan bisa dapat kapan saja, sing penting bersukur dan sabar," Ungkapnya. Sayangnya kami tak mengobrol panjang lebar. Pak Sulaiman harus pamit dan kembali ke tempat mangkal.
Ingatan tentang pak Sulaiman begitu kuat, walau di dalam kabin pesawat sedang turbelensi. Pramugari pun sudah mengingatkan bahwa kami, penumpang belum boleh ke kamar kecil dan wajib memakai sabuk pengaman karena cuaca sedang buruk.
Kegigihannya menyisakan tanya, bagaimana seorang penarik becak mampu menyekolahkan tiga anaknya hingga selesai. Bagaimana manajemen yang ia pakai hingga begitu hebatnya ia mencapai kesuksesan?
Pak Sulaiman adalah sosok yang berpikir langit dan bersikap bumi. Sosoknya yang sederhana dan menyimpan pemikiran bernilai. Pak Sulaiman mampu melihat kedepan, walau tapak kakinya penuh luka penuh nanah seperti kata Iwan Fals.