Fikram hampir putus asa aplagi ketika Ia merasa belum memberikan apa-apa.
"Abang e, saya belum kasih apa-apa tapi ajus (ibu, mama) so pigi tu (Sudah pergi)," Ujarnya pada suatu kesempatan sambil menangis tersedu-sedu
"tara (tidak) apa, banyak kirim doa dan tetap semangat" pesanku.
Hari-hari ia lewati dengan menghibur diri. Walau saya tau ketika pulang ia merasa pilu. Fikram adalah anak ceria, namun dibalik itu ia sedang jiwanya retak. hancur berkeping-keping.Â
Belum usai kesedihannya atas luka yang masih mengagah, ia harus dihadapakan pada masalah lain. Fikram terusir secara halus dari rumah yang ia tempati sejak kecil ini.Â
Apalah daya, ia tak kuasa menahan badai dan cobaan yang datang silih berganti. Satu-satunya yang ia lakukan ialah bersabar, berdoa dan tak menyalahkan keadaan. Takdir tak mampu dilawan manusia. Semua ketetapan tuhan.
Hasil dari kesabaran membuat ia kuat. Berlahan namun pasti, ia bangkit. Semua perihal masalah yang dihadapi di buang jauh-jauh. Dan dengan tekad bulat, ia ingin kembali hidup sebagai manusia seutuhnya. Tanpa retakan atau luka yang menghantui.
Saya mengingat sebuah tekad yang ia dengungkan. " Saya harus jadi orang sukses, agar tak ada yang memandang sebelah mata. Sudahlah cukup bagiku terkekang oleh keadaan,"
Sebuah tekad yang ia dengungkan beberapa bulan setelah ia terusir dari rumahnya.
Saat ini, Fikram sudah bekerja dan menjadi pegawai kontrak disebuah kantor pemerintahan setelah seorang pejabat yang tak lain anak kampung sendiri mengajak ia dan beberapa anak lainya. Sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga tidak mampu.
*