"lihat fikram?," Tanya ia
"Tidak, bagaimana," tanyaku penasaran.
" Aduh kacau, gara-gara dia saya juga ikut kena marah," Ungkapnya dengan mimik wajah kesal. Saya sendiri tau maksudnya.
"Dia lupa antar koran di beberapa rumah akhirnya saya kena tegur. Di suruh mengingatkan agar bekerja dengan baik,"
"Sudah-sudah toh dia baru dua bulan bekerja. Lagian kamu seperti tidak tau saja keadaannya," Ujarku membela.
"Betul sudah tapi kan dia bawa daftar alamat. Siapa-siapa saja yang berlangganan" balas ia kemudian.
"Bro coba bayangkan kalau kamu di posisi dia. Tak punya sepeda motor, dan harus jalan ke selatan subuh-subuh. Ngantuk, dingin belum lagi kalau terjadi apa-apa," usahaku menjelaskan walaupun ia masih nampak kesal.
Kekesalan itu lantaran rekan wartawan inilah yang mengajak Fikram bekerja menjadi loper koran di media tersebut dengan upah tak kurang dari satu juta. Alhasil, jika Fikram melakukan kesalahan maka si rekan kerja ini juga akan ditegur.
Fikram sendiri adalah anak yatim. Ia sudah ditinggal sang Ayah sejak lahir. Bersama sang ibu, mereka tinggal di rumah kakek dan nenek dari garis darah sang ibu.
Setelah menamatkan pendidikan di Bangku SMA, ia sempat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi nasional jurusan pertanian di Kota Ternate. Namun, setelah tiga semester ia harus berhenti karena terkendala biaya.
Beasiswa yang seharusnya dapat menopang dan menunjang proses perkuliahan di tilep oleh salah satu sanak saudaranya. Hal ini bermula karena Fikram tak memiliki rekening bank. Alhasil, ia memakai rekening milik saudaranya.