Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fasapa-sapa, Cara Berburu Ikan di Malam Hari

19 November 2020   15:34 Diperbarui: 25 Maret 2022   00:55 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu menunjukan pukul sepuluh malam. Jam segini, warga biasanya sudah mulai tidur. Lampu-lampu rumah sudah dipadamkan, tertinggal hanya lampu teras. Desa menjadi sepi, gelap dan tak ada lagi keramaian; nongkrong, main domino hingga ngobrol.

Tak terkecuali tiga anak remaja yang sedari tadi lalu-lalang di Desa. Sesekali mereka ke pantai, kemudian kembali lagi. 

"Dari mana?" tanyaku di depan rumah.

"Ceh (sebuah ungkapan untuk yang kurang lebih berarti tidak), baru habis buang air," Jawab salah satu dari mereka nampak menyembunyikan sesuatu.

Di sini, warga masih terbiasa buang air di pantai. Tapi sudah tidak seintens dulu sejak adanya program MCK di rumah-rumah warga. 

Setelah tiga anak tadi berlalu, lewat satu gerombolan. Kuhitung ada enam orang. Mereka ke arah utara desa. Katanya sedang menuju tempat jaringan. 

Jaringan internet di sini hanya ada di ujung utara desa dan selatan desa. Kalau sudah di sini, wajib diam alias tidak boleh bergerak karena sinyal bakal hilang.

Tak lama berselang, mereka kembali ketika waktu menunjukan pukul sebelas malam. Dengan tergesa-gesa, berlari ke rumah masing-masing. 

Sambil terbengong-bengong salah satu dari mereka yang juga tetangga menyapa. "Kaka, tara iko (Kaka tidak ikut)?"

"Iko pi mana tengah malam bagini (ikut ke mana, tengah malam begini)?" tanyaku penasaran.

"Fasapa-sapa, air laut so (sudah) kering," jawabnya.

Fasapa-sapa kurang lebih artinya bapotong-potong alias memotong ikan, berburu ikan.

"Wah iko-iko (saya ikut)," sahutku penuh semangat lantaran setelah sekian purnama saya tak pernah lagi berburu ikan seperti ini. Seingat saya, terakhir kali tahun 2012 silam.

Saya mengingat, pantasan saja sedari tadi banyak yang ke pantai. Ternyata mereka mengecek debet air. Apakah sudah surut atau belum. Tak hanya tiga anak tadi yang berdalih ke pantai karena buang hajat. Tetapi, ada beberapa anak SMP dan SMA serta beberapa warga desa.

Ajakan tadi dengan sekejap membuat saya bangkit dan melakukan persiapan. Saya ganti baju dan celana. memakai pakaian dinas; istilah warga kampung untuk baju lusuh yang dipakai ke kebun.

Parang, lampu kepala atau senter, serta ember tak lupa disiapkan. Setelah menunggu tak kurang lima belas menit, semua berkumpul dan menuju pantai.

*

Hasil berburu. Dokpri
Hasil berburu. Dokpri
Berburu dimulai. Sesaat sebelum sampai ke pantai, sudah ada beberapa warga dari kejauhan yang sudah mulai berburu. Apees, didahului. Lampu-lampu dari kejauhan menujukan ada beberapa kelompok. 

Tak mau kehilangan buruan, kami putuskan menyisir dari arah utara desa. Karang di sini cukup panjang kurang lebih dua kilometer. Dan benar saja, malam ini air begitu surut. Bisa dijadikan lapangan sepak bola.

Hingga malam ke 15 nanti perburuan akan terus dilakukan. Sebab pada malam ke 15 bulan biasanya sudah sempurna. Dan warga tak lagi berburu.

Setelah sampai ke utara kami membagi tim. Satu tim terdiri dari dua orang. Satu bertugas membawa ember untuk menampung hasil tangkap dan satu bertugas memotong ikan, gurita, cumi dan kepiting. Strateginya dengan menyisir setiap celah dimana ikan dan habitat laut terkurung di karang.

Buruan paling utama ialah gurita. Kalau sudah dapat gurita auto berisik. Setiap kali basapa-sapa gurita selalu didapat. Di sini, cukup banyak gurita. Hal yang paling lucu dan membuat riuh ialah ketika gurita setelah dipotong dan diisi ke ember.

Jari-jari yang melekat membuat kita harus sedikit berusaha melepaskan rekatannya dari tangan dan karang. Selain itu, hal riuh lainnya ialah ketika mengejar ikan-ikan yang kaget melihat lampu. Ada ikan yang diam namun ada yang agresif. Kalau sudah begini, mirip mengejar bola kaki di lapangan.

Tak ada kata diam waktu berburu. Di sini orang-orang yang ikut berburu pasti teriak-teriak mengejar ikan. Jika beruntung, ember yang dibawa bisa terisi penuh. Itulah kenapa siapa yang duluan ke pantai disitu kita bisa memanen hasil yang besar.

Hasil berburu
Hasil berburu
Perburuan dilakukan hingga dua sampai tiga jam. Biasanya jika di mulai jam sebelas maka perburuan bisa berakhir hingga jam dua atau jam tiga pagi. Tergantung malam itu banyak ikan atau tidak dan ketika air sudah pasang setinggi lutut. 

Air yang sudah pasang bisa menyebabkan celaka terutama ketika parang akan dipotong ke ikan. Sebab, parang akan lari dan bisa kena kaki.

Biasanya sebelum malam ke-10 atau bulan masih gelap maka hasil yang didapat juga cukup banyak. Namun ketika bulan semakin nampak maka paling yang didapat ialah cumi atau gurita. Sementara ikan sulit didapat.

Setelah perburuan biasanya setiap kelompok adu hasil. Berkumpul di suatu tempat di pinggir pantai dan menunjukan hasil tangkap. Ini lebih didasari pada rasa penasaran. 

Bagi yang kalah, esok malamnya dijamin akan lebih dulu ke pantai. Kemudian, Ikan dan hasil buruan kemudian dibawa pulang lalu dimasak bersama-sama. 

* 

Membakar hasil buruan
Membakar hasil buruan
Hasil buruan milik bersama akan dimasak bersama-sama malam itu juga. Berbeda yang berburu ialah keluarga. Maka hasil akan dimasak esok hari.

Ikan dan hasil buruan bersama dibawa ke salah satu rumah di antara kelompok yang berburu. Kemudian dibersihkan dan dibakar. Untuk gurita lebih banyak digoreng.

Menggoreng gurita cukup menyita waktu. Bahkan satu ekor gurita yang digoreng bersamaan dengan menanak nasi maka nasi akan terlebih dulu masak.

Setelah semua hasil buruan dimasak kemudian sama-sama dimakan beramai-ramai. Biasanya proses memasak ini memakan waktu hingga satu jam lebih apalagi menunggu gurita. Jika hasil buruan gurita banyak maka auto lebih lama menunggu. 

Dokpri
Dokpri

Di kampung saya, Desa Tafasoho, Kabupaten Halmahera Selatan berburu atau fasapa-fasapa dilakoni turun temurun. Dan dilakukan pada bulan-bulan tertentu.

Setiap malam, anak-anak atau warga yang akan berburu terlebih dulu melihat fenomena pasang surut. Sehingga ketika sudah memutuskan ke pantai tidak zonk alias air terlalu tinggi.

Berburu atau fasapa-sapa juga tidak diperkenankan sendiri. Harus lebih dari 4 atau lebih. Atau jika ada yang juga berburu. Hal ini lantaran para orangtua tak mau terjadi apa-apa saat fasapa-sapa.

Apapun itu, fasapa-sapa adalah salah satu jenis kegiatan masyarakat yang hingga kini terus berlanjut dan masih terawat hingga kini. (Sukur dofu-dofu)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun