Fasapa-sapa kurang lebih artinya bapotong-potong alias memotong ikan, berburu ikan.
"Wah iko-iko (saya ikut)," sahutku penuh semangat lantaran setelah sekian purnama saya tak pernah lagi berburu ikan seperti ini. Seingat saya, terakhir kali tahun 2012 silam.
Saya mengingat, pantasan saja sedari tadi banyak yang ke pantai. Ternyata mereka mengecek debet air. Apakah sudah surut atau belum. Tak hanya tiga anak tadi yang berdalih ke pantai karena buang hajat. Tetapi, ada beberapa anak SMP dan SMA serta beberapa warga desa.
Ajakan tadi dengan sekejap membuat saya bangkit dan melakukan persiapan. Saya ganti baju dan celana. memakai pakaian dinas; istilah warga kampung untuk baju lusuh yang dipakai ke kebun.
Parang, lampu kepala atau senter, serta ember tak lupa disiapkan. Setelah menunggu tak kurang lima belas menit, semua berkumpul dan menuju pantai.
*
Tak mau kehilangan buruan, kami putuskan menyisir dari arah utara desa. Karang di sini cukup panjang kurang lebih dua kilometer. Dan benar saja, malam ini air begitu surut. Bisa dijadikan lapangan sepak bola.
Hingga malam ke 15 nanti perburuan akan terus dilakukan. Sebab pada malam ke 15 bulan biasanya sudah sempurna. Dan warga tak lagi berburu.
Setelah sampai ke utara kami membagi tim. Satu tim terdiri dari dua orang. Satu bertugas membawa ember untuk menampung hasil tangkap dan satu bertugas memotong ikan, gurita, cumi dan kepiting. Strateginya dengan menyisir setiap celah dimana ikan dan habitat laut terkurung di karang.
Buruan paling utama ialah gurita. Kalau sudah dapat gurita auto berisik. Setiap kali basapa-sapa gurita selalu didapat. Di sini, cukup banyak gurita. Hal yang paling lucu dan membuat riuh ialah ketika gurita setelah dipotong dan diisi ke ember.