Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Keranjang-keranjang Kehidupan

12 November 2020   18:23 Diperbarui: 15 November 2020   05:04 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di atas jembatan ini, ibu Saida dan lainya menggelar dagangan seadanya. Hanya beralas sebuah banner bekas yang dipotong kecil berukuran tak lebih 1x1 atau kardus bekas. Barang dagangan semisal, nasi kuning, telur, air,rokok, kacang, permen dan lainya diletakan diatas banner tersebut. Selain itu, juga menggunakan keranjang. 

Setiap penumpang yang hendak ke kapal disapa dan menawarkan dagangan. Kebanyakan penumpang kata Ibu Saida, membeli rokok,nasi jaha dan nasi kuning serta air. Nasi kuning sendiri dibanderol 10 ribu perbungkus. Sementara air mineral 6 ribu perbotol kecil dan 10 ribu botol besar (1.500 liter). Sementara nasi Jaha ; makanan khas yang diolah menggunakan bambu dan dibakar,dibanderol per 6 biji 5 ribu.

Sementara untuk pendapatan tak menentu. Jika penghasilan bersih tak lebih dari 200-300. Semua makanan ini ia buat sendiri. Nasi kuning misalnya, ia produksi sebanyak 20 bungkus saja karena jika lebih tak akan laku. Sebab banyak pedagang yang berjualan yang sama.

Berbeda dengan Bu Saida, Rakiba, gadis 17 tahun yang duduk dibangku Kelas dua SMA. Ia dan tiga kawan sebayanya biasa berjualan di dalam kapal. Mereka akan berkeliling dari dek satu hingga tiga menawarkan dagangan yang mereka bawa.

Keranjang yang mereka bawa berisi macam-macam ; Nasi kuning, Jagung, permen, hingga air mineral. Dagangan itu mereka ambil dari penjual seperti bu Siada dan lainya atau di warung-warung dekat pelabuhan. Dengan keuntungan 1000-2000 rupiah per barang yang berhasil di jual.

Mereka cukup lincah dan tak malu. Paras mereka juga cukup lumayan. Cantik. Suara ayuh mereka menggelegar beradu dengan bisingnya suara orang-orang di dek kapal. Sesekali merayu agar membeli satu atau dua barang yang mereka bawa.

Kata Rakiba, ia berdagang untuk biaya sekolah. Apalagi, setelah kepergian sang ayah dan ibunya hanya seorang petani. Selain itu buat jajan di sekolah dan membantu orang tua. Ia tak malu walau kadang merasa canggung.

"Bikiapa malu k kaka, me tong bajual halal (kenapa malu kakak, kan kami jualan halal)," ungkapnya ketika saya bertanya.

Ia dan kawan-kawanya setiap malam berjualan. Dalam semalam bisa membawa pulang 30-50 ribu. Uang itu ia sebagian ia serahkan ke ibunya dan sebagian untuk ongkos ke sekolah dan jajan.

Malam itu, saya membeli dua bungkus nasi kuning, dua botol air, dan sekatong jagung berisi 3 buah. Semuanya habis disantap saat perjalanan.

*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun