Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Klaster Baru Covid-19 Akan Lahir dari Tahapan Pilkada

3 September 2020   12:46 Diperbarui: 4 September 2020   13:31 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak dua hari belakangan saya tercengan melihat postingan-postingan di Medsos. Kerumunan massa yang membludak di bandara dan pelabuhan di Maluku Utara tanpa penerapan sosial distancing maupun protokol kesehatan yang ketat.

Pemandangan itu terjadi lantaran adanya salah satu budaya politik yang lekat kuat di masyarakat yakni penjemputan kandidat setelah berburu rekomendasi partai di Jakarta.

Tak tanggung-tanggung, penjemputan bakal calon (Balon) kandidat melibatkan ribuan orang. Pemandangan ini seperti kampanye terbuka. 

Sepanjang pengalaman saya, penjemputan ini menjadi sakral dan ajang uji kekuatan. Kandidat yang dijemput kemudian disambut dengan tarian tradisional dan tetebenge lainnya serta diarak keliling kota. 

Konvoi keliling kota dimaksudkan untuk menegaskan kepada kandidat dan simpatisan lain bahwa kandidat yang bersangkutan memiliki massa dan simpatisan yang siap memenangkan pertarungan.

Konvoi ini umumnya menggunakan kendaraan roda 2 dan 4. Pada kendaraan roda 4 , massa yang ikut akan berdesak-desakan di atas truk maupun angkot.

Minimnya penerapan protokol kesehatan nampak dari berkerumunannya simpatisan yang saya lihat beberapa hari ini di beranda medsos. Bahkan, selain berkerumunan, sosial distancing dan pemakaian masker nampak longgar. 

Kemarin salah satu kandidat yang dijemput di Kota Ternate bahkan diantar beramai-ramai menggunakan speed boat ke Kabupaten tempat ia bertarung. Tak tanggung-tanggung ratusan simpatisan dengan puluhan speed boat dipakai mengantar balon tersebut. Jarak antar Kota Ternate dengan kabupaten tersebut 535 KM.

Dari postingan ini nampak, satu speed boat diisi lebih dari kapasitas yang seharusnya dan tidak ada penerapan protokol kesehatan sama sekali. Artinya perintah KPU agar tidak ada kerumunan manusia tidak berlaku. 

Pagi ini pun sama, seorang kawan mengirim foto via Whatsaap yang menunjukan kerumunan massa yang masih membludak. Biasanya setelah penjemputan akan ada kampanye di luar tahapan oleh para balon dan massa yakni orasi politik dan janji politik.

Kondisi ini akan terus berlanjut hingga tahapan pilkada selesai. Mungkin, di kota-kota besar penerapan protokol kesehatan guna mencegah penyebaran covid-19 agak ketat tetapi di kota dan kabupaten  lain ha ini tidak berlaku. Sebab, pilkada lebih penting dari pencegahan Covid-19.

Bagi saya sendiri, kondisi ini akan melahirkan cluster baru setelah cluster perkantoran dan beberapa cluster yang sudah terjadi. Tahapan Pilkada yang sudah diatur oleh KPU di era Pandemik Covid-19 agar melakukan kampanye secara daring dengan batasan-batasan yang ketat seperti perlu ditinjau ulang. Peninjauan ini karena aturan yang ada tidak diindahkan oleh kandidat maupun simpatisan itu sendiri.

Lantas tahapan apa saja yang bisa menimbulkan cluster baru Covid-19?

Tahapan pendaftaran

Selain penjemputan yang sudah digambarkan di atas, tahapan yang paling riskan dan menimbulkan kerumunan ialah tahapan pendaftaran kandidat balon. Kok bisa? bukannya yang daftar kandidat dan partai pemberi rekomendasi saja?

Masih pada budaya politik dimana kandidat yang akan mendaftar ke KPU akan diantar beramai-ramai oleh simpatisan dan tim suksesnya. Saya sendiri hingga kini masih heran kenapa tahapan seperti pendaftaran ini selalu mengundang massa. Bahkan pada waktu tertentu saya sering bergurau bahwa tahapan pendaftaran sebagai tahapan reuni.

Kandidat yang akan mendaftar akan diantar dari rumah hingga ke KPU. Pengalaman saya, kondisi ini lebih nyata dan mengundang banyak simpatisan ketimbang penyemputan kandidat. Artinya kondisi dimana kerumunan lebih banyak selain kampanye terbuka.

Tahapan kampanye

Secara tahapan, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia ( KPU RI) sudah menegaskan agar kampanye secara terbuka ditiadakan. Bahkan dalam aturan dan tata cara kampanye KPU, kampanye dilakukan dalam ruangan juga hanya menghadirkan 40 % massa dengan penerapan protokol kesehatan. Tetapi apakah efektif dan dapat dikontrol?

Bagi saya tidak bisa dikontrol terutama daerah-daerah di luar pulau Jawa. Walaupun kampanye secara terbuka ditiadakan akan tetapi kampanye di setiap desa di pelosok-pelosok negeri justru akan meningkat.

Peran Bawaslu lewat unit Panwascam sangat penting di gerakan. Kampanye yang dilakukan di desa  merupakam kewenangan Panwascam. Sebab, kampanye di setiap deda dengan minimnya pengetahuan tentang penerapan protokil kesehatan sangat mungkin terjadi.

Selama ini, berdasarkan pengalaman,  kampanye di desa lebih menyedot massa dibanding kampanye terbuka di lapangan. Jika dipusatkan di satu desa maka masyarakat desa lain akan berbondong-bondong datang ke desa tersebut. Selain itu, peran Panwascam selama ini masih lemah apalagi melakukan sosialisasi semisal penerapan protokol kesehatan. 

Kondisi lemahnya Panwascam dan pihak-pihak lain yang terlibat karena mayoritas penyelenggara berasal dari daerah yang sama atau desa yang sama. Sehingga tidak mampu memerintahkan karena pertimbangan budaya sosial di setiap desa. Selain itu kelemahan lain ialah tidak adanya kontrol yang efektif dari penyelenggara.

Sanksi sebagai barganing position juga tidak semerta-merta membuat lembaga penyelengara dan pengawasan menjadi kuat. Justru selama ini sanksi hanya menjadi bagian dari tahapan demokrasi dan tidak berfungsi apa-apa.

Tahapan Pengumutan suara.

Pemungutan suara atau pencoblosan adalah rangkaian penting dari setiap tahapan pilkada. Walaupun dalam tahapan pencoblosan nanti akan ada pengawasan ketat dan penerapan protokol kesehatan terutama di Lokasi TPS. Akan tetapi, di luar TPS tidak demikian.

Masyarakat yang hadir untuk menyalurkan hak politiknya biasa berkerumunan di luar TPS. Kerumunan tersebut karena lobi-lobi tim sukses kepada masyarakat yang belum melakukan pencoblosan atau sekedar berkomunikasi.

Selain itu, setelah pencoblosan tahapan riskan berikutnya adalah perhitungan suara. Dimana setiap masyarakat yang penasaran akan ikut terlibat mengikuti tahapan ini. 

Selama ini dengan mengusung keterbukaan maka selain saksi kandidat dan saksi partai, masyarakat sebagai simpatisan juga ikut menyaksikan. Semacam ada ketertarikan langkah yang tidak bisa dilewatkan.

Semua tahapan di atas merupakan tahapan riskan yang justru akan memudahkan penyebaran virus corona secara cepat. Penerapan protokol kesehatan yang rendah patut diperhatikan secara serius baik penyelenggara, kandidat, partai politik dan masyarakat sendiri sebagai simpatisan.

Kesadaran diri dipandang paling utama. Selain tugas penyelenggara yang bertanggung jawab melaksanakan pemilihan dengan protokol kesehatan, kandidat dan partai politik juga harus mengambil peran penting dan ikut mensosialisasi pencegahan dan penerapan protokol kesehatan.

Artinya setiap kandidat dan partai politik harus mempengaruhi masanya untuk mengikuti setiap kebijakan pemerintah dan tidak hanya mengikuti hasrat kemenangan semata dan mengabaikan fakta bahwa kita sedang dalam masa pandemik.

Terima Kasih, mari berbenah dan perketat pengawasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun