Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Dunia Berkembang, Selera Berubah, Bisnis Beradaptasi

2 September 2020   10:48 Diperbarui: 3 September 2020   17:20 2884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Grafik dari Lokadata.Id

UU Nomor 32 Ayat 1 pasal 2 digugat? ini dunia bisnis bung, ada peluang ada ancaman. Yang tak kuat tergusur.

Mengawali tulisan ini, mari kita flashback terlebih dahulu dan memposisikan diri sebagai konsumen dimana kita telah merasakan dampak nyata dari perkembangan bisnis selang 20 Tahun belakangan. 

Saya masih mengingat betul ketika Jack Ma didapuk pemerintah menjadi penasihat E-Commerce pada periode 2014 silam. Seketika wajah E-Commerce berubah dratsis. E-Commerce yang diprakarsai pada 1994-1995 silam ini ibarat menemukan leader yang hilang. Ia tumbuh dan berkembang pesat.

Tokopedia, Shope, E ticket, Traveloka, dll merupakan sederet bisnis yang mengambil peluang pada bisnis berbasis internet ini. Dampak nyata atas kehadiran bisnis ini telah memberikan efek pada bisnis-bisnis di luar jaringan untuk beradaptasi dan memalingkan wajah bisnis ke arah yang lebih modern.

Hingga periode Januaru 2020, gairah perkembangan E-Commerce di Indonesia dalam laporan yang dikutip dari We Are Sosial, dari tingkat aktivitas internet berdasarkan tingkatan umur 16-64 tahun, kategori pencarian produk secara online untuk dibeli tumbuh hingga 93%, mengunjungi tokoh online 90%, membeli produk online 88%. 

Kategori pertumbuhan E-Commerce ialah Fashion dan kecantikan (+54%), elektronik dan media fisik (+48%), makanan dan perawatan pribadi (+60%), mainan, DIY dan Hobby (+67%), Travel (+15%), digital musik (+5.7%).

Sementar dilihat dari total pendapatan dikutip dari McKinsey nilai pasar E-Commerce Indonesia diperkirakan akan terus tumbuh. Menurut estimasi mereka, hingga pada tahun 2022, pertumbuhan ini akan mencapai angka $ 55-$ 65 USD (Milyar) pada tahun 2022. 

Prediksi ini jika akurat maka pasar E-Commerce Indonesia akan meningkat delapan kali lipat antara tahun 2017-2020.

Sumber : Grafik dari Lokadata.Id
Sumber : Grafik dari Lokadata.Id
Berikutnya, transaksi keuangan secara online dengan hadirnya pelayanan semisal SMS bangking, kartu kredit, OVO, DANA, Go-Pay dan transaksi keuangan lain yang lebih efisien ketimbang menghabiskan waktu ke Bank.

Hal ini terangkum jelas dalam laporan We Are Sosial dimana metode pembayaran yang digunakan oleh masyarakat Indonesia menggunakan digital mencapai 147.1 juta. Dengan metode pembayaran (dalam E-Commerce) menggunakan kartu kredit (34%), Cash (13%), Transfer bank (24%), Ewallet (14%) dan metode lainnya (14%).

Data ini menunjukan bahwa tingkat transaksi secara digital merupakan metode utama pilihan pembayaran ketimbang metode lain. Efisiensi merupakan indikator utama pilihan masyarakat.

Sumber : We Are Sosial
Sumber : We Are Sosial
Saya juga masih mengingat betapa berkembangnya sektor jasa transportasi Grab dan Gojek yang begitu pesat. Hal ini lantas membuat beberapa bisnis transportasi kalang kabut dan menuntut keadilan-keadilan pada hak ekonomi yang mulai tergusur.

Pun demikian dengan sektor media (koran, radio, televisi dll) yang awalnya terstruktur oligarki dan cenderung terkapitalisasi berubah secara total. Hal ini lantaran terdapat persaingan dalam pasar media penyiaran. 

Bagi saya sendiri ini lumrah sebab untuk melawan hegemoni pasar yang terkonsentrasi diperlukan adanya persaingan-persaingan. 

Media sebagai bagian dari perjuangan demokrasi berkembang pesat setelah terkekang di era orde baru. Lahirnya media-media besar mewarnai perjalanan demokrasi Indonesia atau menjadi bagian dari produk demokrasi yang paling populer. Selain sebagai wadah edukasi dan informasi, media juga menjadi garda terdepan wajah demokrasi.

Namun, kelahiran media-media ini telah membentuk rezim baru seperti yang digambarkan dalam buku Rezim Media oleh Iswandi Saputra. 

Dalam buku tersebut disimpulkan bahwa media sebagai alat demokrasi seiring jalan berubah akibat dari komersialisasi hingga terkapitalisasi.

Terkomersialisasi yang dimaksud ialah acara-acara yang ditayangkan hanya mengejar rating dan mengabaikan fakta moral. Coba tengok, dalam perjalananya banyak acara-acara yang tidak memberikan nilai edukasi sama sekali. 

Sementara, terkapitalisasi karena media dikuasai oleh pemodal besar yang berorientasi profit. Tentu profit adalah hal utama dalam keberlangsungan bisnis. Maka media sebagai sektor bisnis penting tentu berbondong-bondong menampilkan dan menawarkan acara-acara bagi konsumen.

Selain kedua aspek di atas, fungsi media juga bergeser jauh dari esensi indepent dan menjadi alat perjuangan politik para elit dan pemerintahan.

Belakangan, kapitalisasi dan hegemoni media mendapatkan saingan ketat dari media sosial. Yap, Facebook, Instagram, Twitter hingga Youtube. 

Sebelum kehadiran media sosial, konsumen hanya terfokus pada media penyiaran semisal televisi yang monoton di konsumsi. Akan tetapi, kehadiran medsos telah membuat konsumen memiliki "pilihan-keputusan" yang dalam ekonomi di kategorikan sebagai pilihan konsumen.

Konsumen mempunyai pilihan dan keputusan yang bergantung pada utilitas dan pada garis anggaran yang konsumen miliki. Pilihan ini harus digunakan secara optimal hingga tercapai equlibrium konsumen.

Pilihan bergantung pada pendapatan dan harga barang secara alternatif. Artinya, Konsumen akan mengeluarkan berapa pun dari pendapatannya setelah saving untuk mencapai utilitasnya.

Pendapatan Medsos dan Televisi

Saya tidak paham betul bagaimana sistem perhitungan clickbait dalam medsos dan sistem perhitungan rating pada pendapatan televisi. Akan tetapi sesuatu yang saya pahami ialah bisnis di dalam sektor multimedia ini sangat potensial dan menguntungkan. 

Coba tengok, berapa orang pemilik televisi yang masuk dalam jajaaran orang terkaya di dunia. Berapa banyak saham dan total kekayaan perusahaan. Tentunya sangat banyak.

Salah satu sumber pendapatan baik medsos dan Televisi adalah iklan. Lantas berapakah pendapatan keduanya?

Menurut Nilsen television Audience Measurment (TAM) dominasi penyiaran masih dipegang oleh televisi akan tetapi jumlah konsumsi yang di lihat dari durasi tonton tidak mengalami pertumbuhan dalam 3 (tiga) tahun terakhir. 

Dari survei pada 11 Kota di kuartal tahun 2016 waktu rata-rata 4 jam 54 menit dalam satu hari untuk menonton televisi; dan di kuartal yang sama di tahun 2019 mereka menghabiskan waktu rata-rata 4 jam 59 menit.

Walaupun pada periode Covid-19 per maret 2020 durasi tonton televisi di Indonesia mengalami peningkatan lebih dari 40 menit dari rata-rata 4 jam 48 menit di tanggal 11 maret dan melonjak 5 jam 29 menit per tanggal 18 maret. Dengan rata-rata diikuti oleh peningkatan rating sebesar 13.7 persen (18 maret).

Dari sisi pendapatan, walaupun terjadi peningkatan durasi tonton du Indonesia namun pendapatan dari segi iklan terjadi penurunan. Per pekan pertama April 2020, pendapatan iklan media hanya Rp 4,1 triliun. Pekan kedua, belanja iklan kembali susut menjadi Rp4 triliun dan pada 19 April semakin turun hingga Rp3,5 triliun. (Baca, Alinea Id)

Sementara tingkat pendapatan di media sosial, pendapatan facebook masih yang tertinggi hingga tahun 2019 yakni $ 70.7 Milyar, Instagram $20 milyar dan Youtube.

Sumber : Lokadata.id
Sumber : Lokadata.id
Sedangkan di Indonesia, Mc Kinsey memperkirakan hingga 2020 GMV medsos (instagram dan facebook) bisa mencapai $ 25 Milyar.

Jika dilihat dari tingkat penggunaan atau pilihan medsos maka dapat disimpulkan tingkat persaingan media kedepan dikuasai oleh medsos. Hal ini tergambar jelas pada data We Are Sosial.

Youtube menjadi satu pesaing utama televisi karena memiliki 88 persen tingkat pengunaan disusul WhatsApp 84 persen, Facebook 82 persen dan Twiter sebesar 56 persen dari total populasi penduduk Indonesia.

Pangsa pasar

Kekurangan Televisi menjadi kelebihan medsos Kekurangan medsos menjadi kelebihan Televisi. Lantas apa saja kekurangan dan kelebihan itu?

Pertama, program.

Ada keunggulan ada kelemahan, itu kata yang saya sematkan pada dua dimensi persaingan di bisnis media ini. Program-program sebagai produk unggulan memiliki keunggulan masing-masing. Di Televisi, keunggulan program ialah update terutama berita-berita terkini yang langsung dilaporkan secara profesional.

Stasiun televisi akan memiliki karateristik dan keunikan masing-masing dalam melihat peristiwa yang sama. Sudut pandang ini menjadi keunggulan produk diantara mereka. Sehingga konsuken dapat memilih mana saluran yang ingin di konsumsi.

Namun kelemahannya program yang ditawarkan tidak cukup beragam. Tidak ada difrensiasi produk sehingga terkesan kaku dan usang. Konsumen hanya dihadapkan pada pilihan program yang tidak berkembang alias konsumen harus mengkonsumsi apa yang sudah di tawarkan.

Hal ini kemungkinan karena struktur persaingan mengejar rating. sehingga kebanyakan program televisi hampir sama. Rating sebagai acuan riset masih digunakan. Artinya jika program televisi lain memiliki rating yang cukup maka televisi lain akan ikut melakukan hal yang sama.

Sementara di Youtube misalnya, kategori program sangat beragam dengan segmentasi yang berbeda-beda pula. Pilihan konsumen cukup kuat sehingga tak ada hegemoni atau power berlebihan. 

Setiap konsumen dapat memilih program apa yang ingin ia konsumsi. Tanpa perlu memikirkan komersial brack yang panjang di televisi. 

Namun kelemahannya tak ada batasan usia dan terlalu muda mengakses program-program yang di tawarakan. Unit-unit terkecil dalam perusahaan yang berusaha menawarkan produk terkadang melewati batas-batas daru norma kehidupan. Artinya masih ada kelemahan dalam batasan-batas yang wajar.

Kedua, dimensi program

Keunggulan televisi ialah keterjangkauan hingga ke pelosok negeri. Artinya selain jangkauan ke konsumen, program yang ditawarkan menyetuh langsung kehidupan sosial masyarakat hingga ke pedalaman. 

Berbeda dengan youtube yang walaupun ada program-program serupa akan tetapi tidak seintens program di televisi. Di medsos utamanya youtube, produk yang ditawarkan berdasarkan pada sudut pandang influencer yang hanya dianggap penting. Tak jarang, fakta-fakta sosial terabaikan apalagi beberapa tahun belakangan.

Keunggulan medsos yakni bisa diakses di mana saja sementara media televisi tidak tidak demikian.

Ketiga, hambatan masuk

Di dalam pasar, terdapat hambatan masuk dan keluar pasar. Jika pasar terkonsentrasi maka setiap individu atau perusahaan akan cukup sulit untuk masuk. Begitu juga sebaliknya.

Di televisi seperti yang diungkapkan diatas, bagi saya cukup sulit karena hegemoni dan kapitalisasi yang sudah kuat dengan pangsa pasar yang tinggu serta terkonsenteasi. Hambatan tersebut antara lain, modal yang besar, skala ekonomi, SDM dan lainya. 

Jika dianalisis pada tingkatan struktur pasar maka pasar di tingkat media televisi ialah oligopoly.

Sementara di youtube, lebih kepada persaingan sempurna. Setiap orang yang ingin berinvestasi dapat masuk dan keluar tanpa perlu memikirkan hambatan masuk seperti modal atau skala ekonomi.

Persaingan yang tercipta di Youtube bergantung pada individu atau perusahaan untuk menawarkan produk secara kreatif dan inovatif.

Bagaimana ke depannya?

Dari data-data di atas dapat disimpulkam bahwa televisi akan memiliki persaingan yang ketat dari hegemoni pangsa pasar yang selama ini sudah dikuasai. 

Pilihan konsumen menjadi catatan penting yang tidak bisa diabaikan sebab kedepan perkembangan bisnis berbah sangat cepat dimana konsumen menjadi tolak ukur utama setiap produk yang ditawarkan. 

Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun