Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Asa di Ujung Para-para

28 Agustus 2020   12:22 Diperbarui: 29 Agustus 2020   09:11 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Felliwet (pencungkilan)

Proses pengasapan terbilang cukup sulit sebab kematangan daging kelapa tidak merata bersamaan. Daging kelapa yang sudah menjadi kopra harus di pilih satu-satu dan dipisahkan dari yang belum matang. Salah memilih atau terlambat memantau yang sudah matang maka kopra akan menjadi gosong

Selain itu, perlu menjaga volume bara api agar tidak menyala luas murni menggunakan bara api. Selama proses ini, api harus di jaga dengan sesekali menyiram air asin serta ke tiang penyangga utama agar tidak terbakar.

Kopra yang sudah matang. Dokpri
Kopra yang sudah matang. Dokpri
Kopra yang sudah matang kemudian di isi ke karung dan di angkut ke tempat penjualan. Biasanya petani mengangkut sendiri atau menyewa orang lain. Harganya tergantung jarak. Namun harga biasanya ialah Rp.10.000 per karung.

Proses penjualan dilakukan petani ke pengepul desa dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar. Setelah menghitung hutang alias biaya produksi dan lain-lain, barulah petani menerima hasil penjualan bersih.

Hutang diakibatkan oleh mahalnya biaya produksi yang tak sedikit, terutama saat pembelahan karena makan dan keperluan lain di tanggung petani. Salah satu sumber terdekat untuk mendapatkan modal awal ialah ke pedagang perantara dengan jaminan kopra hasil produksi di jual ke mereka.

Kegiatan pembuatan kopra dari tahap awal hingga akhir cukup berat. Namun, harga kopra tak begitu meyakinkan. Petani selalu di hadapkan pada resiko harga yang sangat rendah dari biaya yang di keluarkan. Rata-rata, pendapatan petani di kampung saya hanya berkisar 5 juta-an per 700 kg. 

Rendahnya harga kopra terutama di Maluku Utara beberapa tahun belakangan cukup menyita perhatian. Bahkan setiap panen, petani selalu mengeluhkan kondisi ini. Padahal, kelapa sebagai identitas menjadi mata pencaharian utama petani di Indonesia. Walaupun demikian, selama 10 tahun belakangan harga kopra selalu stagnan pada angka 8.000 rupiah.

Kopra kalah dengan sawit. Salah satu komoditi andalan ekspor Indonesia yang pro kontra. Kebijakan dan perhatian khusus selalu diberikan oleh pemerintah. Sementara Kelapa, hingga kini tak berdaya. Hanya menjadi kebanggaan semata sebagai produsen nomor 1, namun kalah jaya dari komoditas sawit.

Terima kasih, salam kopra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun