Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Subsidi Pulsa Harus Tepat Sasaran, Jika Tidak Aduh Mama Sayang e..

15 Agustus 2020   23:43 Diperbarui: 16 Agustus 2020   09:46 1082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya agak skeptis mendengar adanya kebijakan pemberian subsidi pulsa bagi guru dan murid dengan post anggaran APBN sebesar Rp 7.9 triliun. Walaupun skeptis, tetapi saya tetap optimis dengan kebijakan Subsidi pulsa oleh pemerintah. 

Langkah pemerintah patut di apresiasi. Terutama pada Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang bakal digulirkan September-Desember 2020. Selain itu juga ada insentif lainnya yang masih dibahas

Pemberian subsidi tentu menjadi angin segar bagi dunia pendidikan karena menjawab keresahan siswa, pengajar, orangtua murid; mahasiswa yang harus melakukan pengeluaran untuk konsumsi pulsa dalam mengakomodir sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang ruwet sejak pandemi. 

Artinya ada pengeluaran dari masyarakat yang harusnya masuk ke bagian saving.

Selain membantu para siswa dan orangtua murid, pemberian subsidi juga dapat membantu masyarakat kelas bawah untuk memenuhi kebutuhan anak-anak mereka pada Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ)

Namun di sisi lain, saya agak skeptis pemberian subsidi pulsa bagi siswa dan pelajar. Yakni bagaimana skema penyalurannya. Sebab, selama ini skema subsidi melahirkan distorsi-distorsi terutama pada ekonomi yang menciptakan alokasi tidak efisien; bukan karena terkesan pro pasar yang meniadakan subsidi pada sebuah negara. Akan tetapi, penyaluran subsidi selama ini selalu menjadi masalah di masyarakat.

Selain itu satu hal yang menjadi perhatian ialah, sejauh mana subsidi pulsa dapat dinikmati oleh kalangan bawah. Sebab, kebijakan subsidi kadang hanya menyasar secara populis. Artinya tidak menyentuh inti permasalahan yang dihadapi.

Mahasiwa dan anak sekolah mencari jaringan ke dalam Hutan di Sanana. dok.Nance Samuda
Mahasiwa dan anak sekolah mencari jaringan ke dalam Hutan di Sanana. dok.Nance Samuda

Lantas apakah tepat subsidi ini? Bagaimana pemerataan subsidi bagi daerah-daerah terutama di timur dan daerah tertinggal yang yang masih terkendala kondisi akses jaringan, infrastruktur pendukung, kepemilikan gadget? Bagaimana jangkauan jaringan provider dari 5G hingga 2G?

Sebuah pertanyaan besar yang harus dicermati secara seksama sebelum mengeksekusi kebijakan tersebut. Agar tidak terkesan menghambur-hamburkan anggaran. 

Dukungan infrastruktur sangat penting diperhatikan agar meminimalisir disparitas yang selama ini terjadi. Salah satunya penyamarataan akses informasi dan infrastruktur telekomunikasi dan benar-benar merdeka sinyal yang didengung-dengungkan dari Sabang sampai Merauke. 

Infrastruktur telekomunikasi terutama serat optik menjadi sangat penting dikembangkan. Terutama di daerah-daerah terpencil, terluar, dan terpelosok. 

Dikutip dari Trent Tech Indonesia, Badan Aksesibilitas Komunikasi dan Informasi (Bakti) mengidentifikasi terdapat 340.000 lokasi sektor publik (pendidikan, kesehatan, pemerintah daerah,pertahanan dan ketahanan) serta 150.000 lokasi masih belum tersentuh internet di seluruh dunia.

Selain itu, masih dari sumber yang sama mengemukakan bahwa 95.000 desa masih blank spot yang 5000 desa pedalaman yang belum tersentuh jaringan 2G, 3G dan 4G. 

Keterjangkauan jaringan di Indonesia|Sumber: NPerf.com.
Keterjangkauan jaringan di Indonesia|Sumber: NPerf.com.
Hal ini terlihat dari seberapa jauh jangkauan internet dan disparitas antar kota pada situs di NPerf.com. Pada gambar, menunjukan mayoritas disparitas dan keterjangkauan internet masih timpang di daerah timur ketimbang wilayah Jawa dan Sumatra. 

Warna yang ditunjukan adalah sebaran dan jangkauan setiap jaringan 2G, 3G, dan 4G hingga yang tidak terdapat jaringan

Dari gambar di atas menunjukan bahwa dari Sabang sampai Merauke tanda merah (4G+) dan orange (4G) memiliki titik populasi keterjangkauan terbesar di Pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Sementara di bagian timur Papua masih didominasi oleh tanda biru (2G) dan abu-abu alias belum memiliki keterjangkauan sinyal.

Beberapa wilayah di Timur (NTT, Maluku, Maluku Utara dan Papua)|Sumber: NPerf.com.
Beberapa wilayah di Timur (NTT, Maluku, Maluku Utara dan Papua)|Sumber: NPerf.com.
Di daerah saya sendiri dapat dilihat disparitas jaringan internet berada di Kota Ternate, Tidore, dan Sofifi. Sementara pulau sekitarnya masih didominasi jaringan (2G) dan abu-abu (tidak dijangkau jaringan) di sepanjang Pulau Halmahera.

Beberapa kabupaten di Provinsi Maluku Utara| Sumber: NPerf.com.
Beberapa kabupaten di Provinsi Maluku Utara| Sumber: NPerf.com.

Lantas apakah tidak ada kebijakan dari pemerintah? 

Ada salah satunya gagasan Jokowi tentang Tol Langit yang ingin mengkoneksikan seluruh wilayah terutama di timur yang mengandalkan serat optik Palapa Ring dengan mengalokasikan 4000 Base Transceiver Station (BTS) Telkom dan baru di bangun 500 BTS pada tahun 2019 dan bakalan diselesaikan 3.500 pada Tahun 2020.

Namun apakah berefek? Tentu saja belum. Contoh terkecil di desa saya saja jaringan BTS belum terupgrade ke sistem jaringan 3G hingga 4G. Sehingga hanya bisa digunakan untuk komunikasi biasa yakni menelpon. 

Selain itu, keterjangkauan jaringan ini tidak jauh, sebab jarak tower BTS dengan desa tetangga sekitar 1 km saja tidak mampu dijangkau oleh mereka.

Dalam memperkuat argumen tersebut saya akan memakai data We Are Sosial dengan laporan berjudul Digital 2020 Indonesia. Laporan tersebut menampilkan penggunaan gadget, internet, media sosial, perkembangan E-Commerce dan beberapa item di Indonesia pada bulan Januari 2020. 

Data terbaru dari We Are Sosial masih laporan perkembangan dunia dan belum spesifik ke Indonesia. Sehingga saya akan memakai data yang ada sebagai hanya sebagai gambaran. (silahkan dikunjungi, bisa menjadi bahan artikel buat teman-teman)

Berdasarkan data lembaga asal Inggris ini, penggunaan internet mencapai 174.5 juta jiwa yang berarti sekitar 64 persen menggunakan internet atau menjangkau internet. Sementara 36 persen lainnya belum dapat menjangkau. Dan dengan koneksi handphone ke internet mencapai 124 persen (338.2 juta).

Sumber. We Are Sosial
Sumber. We Are Sosial
Selain itu, berdasarkan data ini juga digambarkan penggunaan dan keterjangkauan jaringan menunjukan bahwa kebanyakan akses internet menggunakan perangkat gadget dengan jumlah mencapai 171 juta. Artinya akses internet di dominasi oleh gadget.

Sumber. We Are Sosial
Sumber. We Are Sosial
Lantas seberapa banyak siswa di pedesaan, pedalaman, dan terpencil memiliki gadget agar bisa mengikuti PJJ? Bagaimana mekanisme pemerintah mengalokasikan subsidi pulsa agar bisa menyentuh orang-orang ini. Apalagi bagi mereka yang dalam keluarganya tidak memiliki banyak gadget pintar? 

Tentunya butuh kajian matang. Apalagi di daerah timur sana kebanyakan orangtua dan siswa di pedalaman masih gagap teknologi. Bahkan, persepsi memiliki handphone yang penting bisa nelpon dibandingkan soal handphone cerdas tak ada yang tertarik. 

Perlu pertimbangan matang, sebab bagi saya subsidi bisa sukses jika dapat menyentuh inti permasalahan bukan secara populatif alias hanya bagian kulitnya saja. Seperti ingin makan pisang tapi yang diberi kulit.

Berbagi Cerita.

Beberapa hari kemarin, tepatnya hari Senin (10/08) Salah satu wartawan lokal mengirimkan sebuah foto dengan caption "Warga Wailoba Jalan Kaki 8 Km Mencarj Jaringan," (Baca: Report Malut.com).

Ia menjelaskan dalam foto tersebut terdiri dari siswa, mahasiswa dan masyarakat. Mereka menempuh perjalanan sejauh 8 km ke lokasi jaringan untuk membuat tugas, dan menelpon.

Jalanan yang becek dan tempat jaringan berada di bukit menjadi tantangan mereka apalagi di musim penghujan saat ini. Ia mengungkapkan bahwa janji pemerintah daerah untuk membangun tower BTS di Desa Wailoba Kabupaten Kepulauan Sula sampai saat ini tinggal janji, padahal warga sudah rela menghibahkan tanahnya.

Hal itu lantas membuat saya berkomentar, "Mirip deng abang pe kampong e padahal. (Sama dengan kampung saya ternyata).

Yap, di kampung saya juga demikian. Walaupun terdapat satu tower BTS milik Telkom dari tahun 2013 akan tetapi baru bisa digunakan pada tahun 2019 karena mengalami kerusakan. 

Walaupun sudah bisa digunakan akan tetapi untuk mengakses internet tidaklah berguna alias nihil. Sebab, tower BTS ini hanya menjangkau jaringan 2G.

Alhasil ketika siswa dan masyarakat ingin mengakses internet, mereka harus ke kantor kecamatan yang letaknya 1 km di dari perkampungan dan terletak di perbukitan. Kantor ini mengalokasikan dana untuk menyediakan internet. Bayangkan saja berapa duit yang dikeluarkan.

Selain itu mereka juga dapat mengakses internet yang disediakan pihak sekolah; SMA yang juga berada di ujung kampung dan jauh dari pemukiman. Walaupun ada jaringan internet tapi tak banyak yang kesini karena letak sekolah berada di tengah hutan.

Selain siswa dan mahasiswa desa saya, warga beberapa desa tetangga juga mengakses internet disini sebab desa mereka tak memiliki jaringan sama sekali.

Mereka harus berjalan kurang lebih 1-2 km hanya untuk mengerjakan tugas, mengirim tugas, dan mengikuti kuliah online maupun belajar online bagi anak-anak yang bersekolah di Ternate dan sekitaran Halmahera.

Dua peristiwa di atas hanya sebagai gambaran bahwa pemberian subsidi pulsa harus dipertimbangkan secara matang. Terutama mekanisme penyaluran agar tidak menimbulkan masalah. 

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun